Di era modern yang terikat dengan globalisasi hingga perubahan sosial di masyarakat, isu ketidaksetaraan gender masih memerlukan perhatian serius. Meskipun zaman sekarang perkembangan teknologi dan sistem Pendidikan sudah lebih maju, tetapi nyatanya tak sedikit masyarakat yang masih terikat pada pemikiran 'kuno' nya, dimana mereka masih menjunjung tinggi nilai patriarki yang merugikan satu pihak, yaitu pihak wanita yang selalu ditempatkan pada posisi lemah dan laki-laki yang mendominasi segala aspek kehidupan.
Kurangnya pemahaman masyarakat tersebut dapat membuat posisi wanita selalu direndahkan. Ditambah lagi dengan stigma yang ditanamkan oleh beberapa orang tua kepada anaknya sejak kecil tentang kodrat wanita yang hanya berada di dapur dan mengurus pekerjaan rumah. Karena pemikiran 'kuno' itu banyak dari mereka yang akhirnya kehilangan semangat untuk terus maju dan berkembang, apalagi di tengah lingkungan sekitarnya yang masih membenarkan ketidakadilan dalam kebebasan berekpresi atau bahkan kebebasan dalam mengambil sebuah tindakan.
Dewi Yuni Muliati, Sekertaris Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat, dalam acara Sosialisasi PUG, PP, dan PA menyampaikan bahwa wanita masih mengalami ketidakadilan akibat diskriminasi gender sehingga mengakibatkan kasus kekerasan di Indonesia melambung tinggi pada tahun 2014, yang dimana menurut Data Komnas Perempuan mencapai 293.220 kasus. (KPPPA)
Rumah yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman, malah menjadi tempat yang paling makutkan bagi beberapa orang. Banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Menurut data yang diperoleh oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KemenPPPA) sejak tahun 2017 hingga saat ini, kasus kekerasan di Indonesia tidak pernah kurang dari angka 20.000. Mirisnya, kekerasan ini tidak hanya terjadi di rumah saja, melainkan di tempat umum juga sering menjadi tempat terjadinya tindak kekerasan. Parahnya lagi, pada tahun 2023 ini sudah terhitung 22.413 kasus semenjak tanggal 1 Januari sampai 1 November, dengan jenis kekerasan yang paling banyak dialami adalah kekerasan seksual, yaitu sebanyak 9.965 kasus.
Tak hanya terjadi di dunia nyata saja, pada berbagai macam platform media sosial masih banyak ditemukan kasus-kasus deskriminasi gender yang mendapat dukungan oleh masyarakat. Sebagai contoh, seorang wanita yang berjalan menggunakan pakaian terbuka sering mendapat tatapan, suara, atau ekpresi yang membuat dirinya merasa tidak nyaman, tetapi siapa sangka bahwa dibalik rasa ketidaknyamanannya, mereka justru menerima banyak hujatan pada platform media sosial yang membuatnya merasa terpojokkan, padahal pakaian yang mereka pakai adalah salah satu hak dalam kebebasan mengekspresikan diri.
Daripada menggunakan sosial media yang sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan untuk tindakan yang tidak bermutu dengan mendukung pelaku diskriminasi gender dan memojokan korban layaknya contoh diatas, lebih baik kita mulai menggunakan media sosial dengan bijak. Media sosial juga memiliki peran besar dalam memperoleh banyak pengetahuan untuk menambah wawasan masyarakat. Semua konten yang muncul di halaman pengguna melalui penyesuaian algoritma harus bisa kita tanggapi dengan sadar akan konsekuensi kata-kata serta tindakan yang kita tunjukan melalui media sosial. Dengan begitu orang-orang yang ingin menyuarakan ketidakadilan mereka terhadap diskriminasi gender yang menimpanya dapat tersampaikan dengan bauk kepada pihak yang berwenang, sehingga pihak yang berwenang dapat menindaklanjuti dan mecapai keputusan akhir yang adil bagi korban.
Meskipun begitu, tak sedikit juga masyarakat yang sudah membuka mata dan mengambil inisatif untuk melawan diskriminasi gender seperti mengumpulkan sekelompok orang dengan pemikiran serta tujuan yang sama, yaitu mewujudkan kesetaraan gender, lalu membuat gerakan hingga tercapinya mimpi mereka. Begitu pula dengan pihak hukum dan pemerintah.
Seringkali masyarakat tidak mempercayai pihak hukum dan pemerintah, padahal sudah cukup banyak juga dukungan kelembagaan yang mereka ambil untuk penghapusan diskriminasi terhadap wanita. Misalnya, pembentukan unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di kepolisian yang berjumlah 305 unit dan Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) yang berjumalah 113 unit. Walaupun pemerintah telah berusaha secara maksimal dengan membentuk berbagai unit dan kelembagaan tersebut, kita tetap tidak bisa bergantung hanya dengan mengandalkan pemerintah saja. Pasalnya kinerja kelembagaan tersebut belum berjalan dengan optimal karena adanya keterbatasan sumber daya manusia, sarana prasarana, dan dukungan anggaran. Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat harus memiliki pemahaman lebih akan kesetaraan gender, sehingga dapat membantu pemerintah dalam mewujudkan Negara Indonesia yang bebas dari kasus diskriminasi gender.
Adapun beberapa hal yang menjadi kendala atau hambatan dalam perwujudan kesetaraan gender, yaitu karena kurangnya akses pendidikan yang membuat wanita yang sudah menikah memiliki keterbatasan dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan diharuskan untuk mengurus rumah beserta keluarganya. Kendala lainnya adalah kurangnya akses perempuan dalam pengambilan keputusan serta berpartisipasi penuh di dalam bidang politik dan pemerintah di masyarakat, padahal laki-laki dan wanita memiliki hak yang sama dalam segala aspek politik dan pemerintahan.
Dengan demikian penyikapan dalam perwujudan kesetaraan gender sangat diperlukan untuk menjadikan Negara Indonesia menjadi negara yang memiliki pemikiran maju dan terbuka untuk memperlakukan semua gender dengan adil. Adapun langkah awal yang perlu dilakukan dalam upayah perwujudan kesetaraan gender adalah dengan memiliki kesadaran akan dampak diskriminasi gener serta peran dalam mewujudkannya. Selain itu, diperlukannya partisipasi aktif dalam mendukung hak-hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tanpa adanya paksaan atau tekanan. Hal lainnya dapat dilakukan oleh pemerintah dengan ditegakkannya hukum yang efektif untuk menangani kasus deskriminasi gener dan keadilan hak bagi seluruh rakyatnya tanpa memandang gender.
Tekat yang kuat dengan penuh tanggung jawab serta optimisme memiliki peran yang lebih besar daripada beberapa hal diatas dalam mewujudkan kesetaraan gender. Untuk itu, mari bersama kita ambil setiap tindakan kecil, setiap kata positif, dan setiap kesempatan yang datang untuk membawa Indonesia pada perubahan yang lebih baik dalam perjuangan untuk kesetaraan gender.