Mohon tunggu...
Amanda Nasution
Amanda Nasution Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer bloger
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

https://www.linkedin.com/mwlite/me

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film - "I Want Eat Your Pancreas"

24 Desember 2018   07:35 Diperbarui: 25 Desember 2018   14:59 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
photo by Madama Films

I Want Eat Your Pancreas sebuah film animasi Jepang bergenre drama remaja yang di adaptasi dari novel Jepang karya Yoru Sumino, publish 2015,  dan karya Manganya di garap oleh Idumi Kirihara, publish 2016-2017, dengan judul yang sama.

Setia dengan teknologi lawas, film ini tidak diolah dengan teknologi animasi yang saat ini berkembang dengan pesat. Animasi dua dimensi mengingatkan film-film animasi khas Jepang di era 80 an. Dengan bentuk karakter tokoh pun "melestarikan" tokoh-tokoh animasi Jepang di tahun 80an akhir sampai di tahun 90an. Seperti yang di ketahui tokoh animasi Jepang selalu bermata besar dan bulat. Kemudian memvisualkan sesuatu kondisi kondisi tertentu berlebihan. Misalnya, menggambarkan makanan yang sangat enak, animasi Jepang bisa membuat animasi yang sang hyperball.

photo by ani.me
photo by ani.me
I want to eat your pancreas menceritakan seorang gadis remaja bernama Sakura yang di vonis kanker oleh dokter yang selalu terlihat ceria sehari-hari. Kemudian Sakura berteman dan jatuh cinta kepada teman sekelasnya, Haruki, yang memiliki sifat sangat tertutup. Bahkan tidak memiliki teman. Haruki lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan. Dengan sangat sabar Sakura terus menjalin persahabatan Haruki, sehingga mereka terbiasa bersama dan berbagi. Dan rasa cinta itu pun tumbuhlah. Walau telat untuk merasakan rasa saling memiliki.

Memperkuat di dua karakter utama dan dua karakter pendamping, sebenarnya film ini  kekurangan dinamikanya. Sehingga film terasa datar, terselamatkan oleh pola bicara orang Jepang yang yang naik turun. Seandainya tidak begitu, dipastikan film ini terasa datar.  Sebuah adegan akhir yang seharusnya membuat haru, malah terasa lucu. Kegagalan mengarahkan sepertinya atau suasana dibikin tidak terlalu dalam, jadi kesan sedih tidak bisa dirasakan.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun