Sebuah karya sastra layaknya diwujudkan dalam bentuk buku. Buku ini seperti alat pengakuan diri sebagai seorang sastrawan, selama buku yang dilahirkan berisi unsur sastra, misalnya puisi, pantun, prosa, cerpen atau pun novel.
Berbeda dengan novel pop yang gampang jadi best seller, sebuah karya sastra yang dibukukan, atau biasa disebut antalogi, sangat sulit "mencuri" pangsa pasarnya. Butuh perjuangan berat dan panjang sebelum akhirnya beneran dipasarkan dan diminatin.
Harusnya bisa tercatat dalam sejarah kesusastraan di Indonesia, buku antalogi yang diberi judul "Lima Menit danRasa Rindu" karya Prilly Latuconsina dan diterbitkan oleh Panas Dalam, sepertinya menjadi satu-satunya buku sastra tersukses sepanjang sejarah. Buku yang diterbitkan 2017 lalu ini mencatat tiga kali naik cetak dalam tahun yang sama, dan selalu habis saat pres-sale.
Latisa Naraswari, gadis berusia 15 tahun ini memperoleh piagam dari Museum Rekor Indonesia, MURI untuk buku puisi yang diterbitkannya dengan judul "Drifting Away, Love Letters & Broken Clocks." Pemberian piagam MURI dilakukan Jum'at, 14 Desember 2018 kemaren di kantor MURI di kawasan Mall Of Indonesia.
Senior Manager MURI dalam keterangannya menyampaikan, "Buku Drifting Away, Love Letters & Broken Clocks" layak di catat dan diberikan apresiasi oleh Museum Rekor Indonesia karena ini adalah buku puisi dan prosa pertama dalam Bahasa inggris yang ditulis oleh anak berusia 15 tahun."
Dalam kesempatan yang sama, sang penulis, Latisa Naraswari menerangkan, " Buku ini sebenarnya adalah isi diary. Aku menulisnya dalam Bahasa inggris karena aku kurang lancar menulis dalam Bahasa Indonesia."
Seperti buku "5 Menit dan Rasa Rindu," buku ini pun sama, sebuah diary atau buku harian yang menjadi tempat penulisnya curhat. Emosi yang tertuang datar, intonasinya tidak terpenuhi untuk sebuah karya sastra. Begitu juga pemilihan katanya yang dengan membaca satu baris saja kita tau maksud penulis.
Aku jadi tertarik menyandingkan dua buku ini karena isinya yang sama, curahan hati para remaja usia belasan tahun yang dicoba ditulis dengan bentuk syair pada tampilannya untuk menghindari komen orang tua. Jadi bermain pada penggalan kata dan berharap orang yang baca terkecoh.
Yang harus diapresiasi adalah keberanian Latisa merilis bukunya, yang pasti tidak gampang menjual buku semacam ini. Bukan hanya masyarakat Indonesia, masyarakat internasional pun sama. Lebih gampang jual sebuah lukisan dari pada sebuah syair yang proses nulisnya butuh bertahun-tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H