Â
   Atmosfer malam yang suram dan dingin menusuk kulit. Kontras yang begitu pekat dibandingkan dengan Kafe bermandikan alunan musik jazz eksotis dan lampu-lampu antik dengan bisik-bisik bincang dari orang-orang yang duduk di sekeliling meja. Aku baru saja meninggalkan bangunan mungil di dalam taman itu sehabis menyelesaikan sebagian tugas perkuliahan yang aku cicil sedari matahari masih terik di atas langit sana. Nyala redup lampu-lampu  menemani langkah sepatu abu milikku yang ingin lekas sampai kamar sebab udara dingin ini mulai membuatku mengigil dan mules tak karuan. Berjalan sedikit cepat melewati pepohonan yang sudah terlelap dalam lamunan kosong. Aku sering sekali merasa tidak nyata seperti seandainya aku tidak hidup di tempat ini, seperti seandainya sukmaku menetap di nafas yang lain. Namun, aku tetap menjalani hari-hari dengan baik meski dipenuhi rasa bingung tanpa arah.Bertanya-tanya "Dimanakah kenyataan itu?".
   Malam ini, bulan sendirian di singgasana beludru hitam miliknya sementara kota Bandung bermandikan lautan cahaya juga nyala jiwa-jiwa manusia didalamnya. Orang-orang tertawa dan menangis, berbagi cinta atau menyakiti tanpa alasan. Lalu, mereka bercerita, membagikan warna kehidupan mereka lewat kata, bahasa tubuh, dan emosi.  Sementara aku  selalu berada di balik dinding penghalang antara aku dan orang-orang di sekelilingku, berusaha membaur. Semakin waktu berjalan, aku mulai tertinggal dan kehilangan identitas diri. Ada aroma lain, warna-warna yang lebih cerah, dan aliran emosi yang lebih nyata mengalir dalam diriku. Ingatan-ingatan dalam suatu masa yang saling bertabrakan yang sama sekali berbeda. Lalu, aku mulai tertidur semakin dalam semakin aku merangkul kehidupan ini. Pada akhirnya aku selalu mencari-cari, berlari ke 'tempat itu' dan begitu merindukannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H