Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja merupakan undang-undang yang menggabungkan peraturan dan memotong beberapa pasal dari undang-undang lama termasuk pasal mengenai ketenagakerjaan untuk menjadi peraturan perundang-undangan yang sederhana. Omnibus Law adalah penyusunan peraturan dimana dalam satu peraturan tersebut terdapat banyak peraturan yang mencabut, mengubah atau memberlakukan suatu aturan yang seharusnya disatukan dalam berbagai aturan. Mengutip pernyataan Darwance , Omnibus Law ini sudah ada diberbagai negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Irlandia dan Suriname. Terdapat banyak kritikan terhadap disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja ini di Indoensia. Kabar Pengesahan Undang-Undang ini menjadi perhatian banyak orang dikarenakan Undang-Undang Cipta Kerja dirasa melanggar konstitusi.
Dikutip dari pernyataan Munir Fuady dalam tulisan Darwance, Indoensia seringkali dikategorikan sebagai negara dengan sistem hukum Eropa Kontimental yang merupakan tradisi hukum tertua dan banyak berpengaruh dan meluas dipergunakan di dunia, dimana sistem ini mengandalkan Undang-Undang sebagai dasar hukum utama. Undang-undang merupakan dasar hukum tertulis, dengan dibentuknya sistem hukum tetulis sebagai dasar utama, maka muncul banyaknya jumlah dasar hukum tertulis ini, sehingga pada tahuj 2016 lalu, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia mengumumkan bahwa Indonesia memiliki 62 ribu Peraturan Perundang-Undangan yang mana terbagi kedalam tiga jenis, yaitu peraturan kebijakan ,keputusan pejabat tata usaha negara dan Peraturan . Data inilah yang kemudian dijadikan acuan oleh Presiden Joko Widodo semenjak awal pemerintahannya, berkali-kali ia menegaskan bahwa semua kementerian/ lembaga/ pemerinatah daerah harus mulai berhenti melakukan kebiasan membentuk peraturan perundang-undangan yang tidak penting, agar mengurangi naiknya jumlah pembentukan hukum tertulis.
Undang-Undang Cipta Kerja merupakan Undang-Undang Omnibus Law yang menggabungkan 79 Undang-Undang dibidang ketenagakerjaan, investasi, perizinan dan lainnya. Dimana undang-undang ini bertujuan untuk menyerdehanakan perizinan dan investasi serta menciptakan lapangan kerja, lantas malah dengan disahkannya undang-undang ini banyak pihak yang merasa dirugi dan menilai bahwa undang-undang Cipta Kerja malah akan merugikan hak-hak pekerja buruh dan rakyat kecil. Kemudian pada tanggal 30 Desember 2022 Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerinta Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dengan alasan «Kegentingan memaksa».
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja semakin menuai banyak penolakan dari berbagai kalangan masyarakat, salah satu yang dikutip dari BBC News Indonesia, seorang pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan, «tidak sesuai dengan perintah MK yang memerintahkan pemerintah serta DPR untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun sejak putusan dibacakan.»Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja disahkan oleh Presiden Joko Widodo dengan alasan «Kegentingan yang memaksa» padahal belum genap dua tahun, sedangkan MK menyatakan agar memperbaiki isi dari Undang-Undang Cipta Kerja ini selama dua tahun, hanya dengan alasan tersebut banyak dari masyarakat yang dirugikan terutama buruh.
Dikutip dari BBC News Indoensia Pertimbangkan hakim MK menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Cipta Kerja karena situasi perang di Ukraina «bida dipahami sebagai Kegentingan yang memaksa» ditambah lagi dengan situasi ekonomi. MK menilai dalil gugatan mengenai persoalan kata «kegentingan yang memaksa» itu tidak terpenuhi. Sebagai konsekuensi dari kegentingan itu maka penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam proses persetujuan di DPR tidak relevan untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna. Pendapat hakim mengenai persertujuan DPR seharusnya merupakan representasi dari masyarakat, dari Sembilan hakim yang memutus perkara ini, terdapat empat hakim yang berbeda pendapat, keempat hakim itu yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih dan Suhartoyo.
Dalam Konferensi Pers yang Dikutip dari BBC News Indonesia, Presiden Partai Buruh yaitu Said Iqbal memprotes pasal terkait pesangonan, yang diatur melalui regulasi turunan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, dikarenakan akan «mempermudah PHK» karena pesangon yang diberikan kepada pekerja jauh lebih kecil dibanding ketentuang Undang-undang ketenagakerjaan yang lalu, dimana didalamnya terdapat perbedaan yang memungkinkan perusahaan membayar pesangon pekerja hanya sebesar 0,5 kali dari seharusnya yang dibayarkan, sehingga banyak perusahaan yang mem-PHK karyawan karena «mengalami Kerugian.Â
Pembangkangan sipil merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap pemerintah yang sah, dilakukan secara damai dan pembangkangan sipil menjadi sarana untuk menyuarakan aspirasi rakyat dan menuntut perubahan. Pembangkangan sipil dalam undang-undang Cipta Kerja dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya menolak atau tidak mematuhi ketentuan Undang-Undang Cipta Kerja, melakukan boikot terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan Undang-Undang Cipta kerja dan mendukung aksi demonstrasi atau protes tehadap Undang-undang Cipta Kerja.Â
Dengan pembangkangan sipil menjadi sarana yang efektif untuk menyuarakan aspirasi rakyat dan menuntut perubahan yang dilakukan tanpa kekerasan, namun dilain sisi juga akan menimbulkan dampak yang berujung pada penangkapan atau penahana dalam aparat. Orang yang terlibat dalam pembangkangan sipil bersedia menerima konsekuensi hukum dari tindakan mereka, sebagai bentuk bukti kesetiaan mereka terhadap sepermasi hukum.
Cepatnya gerakan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja oleh DPR dan pemerintah didoraong dengan kegagalan pemerintah untuk melaksanakan hampir 20 paket reformasi yang diluncurkan, akibat dari tumpang tindihinya peraturan dari sekitar 80 undang-undang serta ribuan keputusan Presiden dan Menteri. Namun, bukan bermakna bahwa draf Undang-Undang Cipta Kerja punya legitimasi untuk disahkan secara mulus dengan mengabaikan pertimbangan akal sehat. Tak terhitung lagi kritikan Komnas HAM, aktivis pro-demokrasi, hak-hak pekerja dan lingkungan hidup yang menguliti substansi pasal demi pasal dari undang-undang yang kontroversial. sikap DPR dan pemerintah yang menyalahkan para mahasiswa, buruh atau siapa saja yang berdemonstrasi. Mereka dianggap tak mengerti atau membaca Undang-Undang Cipta Kerja sebelum melakukan aksi parlemen jalanan. Sementara sosialisasi undang-undang ini tak pernah dijalankan di kampus. Para politisi di DPR justru memanfaatkan masa pembatasan sosial berskala besar ini untuk diam-diam menggolkan Undang-Undang Cipta Kerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H