Mohon tunggu...
Amanda Rigata
Amanda Rigata Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Saya adalah seorang mahasiswi S1 yang hobi menulis dan membaca berbagai hal yang menarik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Lebaran 2022: Pandemi Covid-19 Masih Berlangsung, Perlukah Larangan Mudik Diberlakukan Lagi?

24 Mei 2022   19:37 Diperbarui: 24 Mei 2022   19:53 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat Perkembangan Kasus COVID-19 di Tahun 2022

Pada awal tahun 2022 dunia dihebohkan dengan Subvarian baru dari Omicron yaitu BA.1 dan tak lama kemudian Subvarian BA.2 juga muncul. Belum diketahui secara pasti dari mana asal Subvarian BA.1 dan BA.2 tersebut. Dilansir dari The Conversation, Subvarian Omicron paling awal yang terdeteksi, BA.1, pertama kali dilaporkan pada November 2021 di Afrika Selatan. 

Lalu, dikutip dari France24, BA.2 pertama kali teridentifikasi di India dan Afrika Selatan pada akhir 2021. Tetapi ada pula laporan lain yang menyatakan bahwa Subvarian BA.2 pertama kali muncul pada bulan November di Inggris. 

Belakangan ini lonjakan kasus pun terjadi di beberapa negara seperti Eropa, Hongkong, dan Cina. Bahkan, di negara-negara Eropa meliputi Inggris, Jerman, Perancis, dan Switzerland dikatakan bahwa Subvarian BA.2 memiliki tingkat penularan yang tinggi. Luhut Binsar Pandjaitan, selaku Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menkomarinves) menilai bahwa kenaikan kasus COVID-19 di beberapa negara Eropa. 

terjadi lantaran beberapa negara Eropa telah melonggarkan protokol kesehatan sehingga memicu penyebaran virus Subvarian Omicron BA.2. Disisi lain, juru bicara Kementerian Kesehatan RI, Siti Nadia Tarmizi menyatakan bahwasannya Subvarian Omicron BA.2 juga berkontribusi pada peningkatan laju perawatan pasien di sejumlah negara seperti Hong Kong, Inggris dan Korea Selatan. 

Indonesia tentunya perlu waspada terhadap adanya potensi lonjakan kasus akibat penyebaran virus Subvarian BA.2 karena karakteristiknya lebih cepat menular dan memiliki tingkat keparahan tinggi apabila seseorang terinfeksi. Gejala yang timbul umumnya mirip dengan subvarian BA.1 yang sudah menyebar di Indonesia seperti batuk, demam ataupun pilek. 

Meskipun begitu, vaksin COVID-19 yang beredar di Indonesia dipastikan masih efektif mencegah berbagai jenis Subvarian Omicron. Hal tersebut ditegaskan oleh Siti Nadia Tarmizi bahwa pada prinsipnya masyarakat harus melengkapi vaksinasi dua dosis hingga dosis ketiga karena vaksinasi akan meningkatkan pertahanan tubuh termasuk terhadap subvarian Omicron. 

Disisi lain, Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa masyarakat Indonesia memiliki tingkat kekebalan tinggi sehingga di Indonesia tidak terjadi lonjakan kasus COVID-19 meskipun terdapat virus Subvarian baru seperti BA.1 dan BA.2 ini. 

Budi juga menyatakan hal itu disebabkan karena kekebalan vaksinasi di Indonesia tinggi. Selain itu, dalam melakukan penyebaran vaksinasinya Indonesia juga cenderung lebih lambat daripada negara-negara Eropa yaitu di bulan September hingga Oktober 2021. 

Sebelum gencarnya vaksinasi massal pada bulan September, Indonesia juga telah mengalami lonjakan kasus akibat gelombang varian Delta yang sangat besar sehingga sebagian masyarakat Indonesia telah memiliki imunitas alami. Kombinasi keduanya itulah yang membuat masyarakat Indonesia memiliki double immunity, baik yang telah vaksin dahulu lalu tertular maupun sebaliknya.

Terkait Ibadah di Bulan Ramadhan, Mudik dan Hari Raya Idul Fitri

Seperti yang kita ketahui, sudah dua tahun kita merayakan Ramadhan dan lebaran di tengah pandemi COVID-19 dan dua kali pula larangan ibadah serta mudik telah diterapkan. Aturan tersebut dibuat tentunya dengan tujuan yang baik yaitu untuk mencegah penyebaran COVID-19, apalagi saat ini telah muncul Subvarian omicron BA.1 dan BA.2. 

Pada bulan Februari 2022 kasus positif COVID-19 meningkat bahkan memecahkan rekor tertinggi sejak pandemi. Meskipun sempat mengalami lonjakan kasus pada bulan Februari, saat ini perkembangan kasus COVID-19 di Indonesia mulai menunjukkan tren positif. 

Dalam siaran pers Kemenkes pada 25 Februari 2022, Siti Nadia Tarmizi selaku juru bicara menyatakan bahwa jumlah kasus harian mengalami penurunan menjadi 49.447 dari sebelumnya yang berjumlah 57.426. Angka kesembuhan harian COVID-19 pada 25 Februari 2022 kemarin juga mencatat rekor tertinggi sejak awal pandemi yaitu sebesar 61.361. 

Persentase perawatan pasien COVID-19 di rumah sakit terpantau melandai di angka 37% dari total kapasitas nasional. Jumlah tersebut turun 1% dibandingkan pada tanggal 24 Februari 2022. 

Melihat tren yang menggembirakan tersebut, pertanyaan yang muncul di masyarakat saat ini adalah apakah lebaran 2022 diperbolehkan untuk mudik ? bagaimana pelaksanaan kegiatan ibadah selama bulan Ramadhan? 

Melihat perkembangan situasi pandemi yang kian membaik, pemerintah memutuskan untuk melakukan beberapa pelonggaran kebijakan menjelang bulan Ramadhan. Sebagaimana dalam keterangan pers pada 23 Maret 2022, Presiden Jokowi mengeluarkan tiga aturan menghadapi Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri 1443 Hijriah. 

  1. Presiden mengizinkan masyarakat untuk melakukan perjalanan mudik lebaran. Namun, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi para pemudik seperti : (1) Bagi pemudik yang hanya vaksin dosis 1 harus memiliki hasil tes negatif PCR; (2) Bagi pemudik yang telah vaksin dosis 2 harus memiliki hasil negatif tes Antigen; (3) Bagi pemudik penerima vaksin dosis 3 hanya perlu menunjukan sertifikat vaksin; dan (4) Wajib menerapkan protokol kesehatan secara ketat selama melakukan perjalanan.

  2. Presiden memperbolehkan pelaksanaan kegiatan ibadah Ramadhan dan merayakan Idul Fitri dengan jaminan tidak meninggalkan protokol kesehatan.

  3. Presiden melarang pejabat dan aparatur sipil negara (ASN) menggelar acara buka bersama sepanjang bulan Ramadhan ataupun melaksanakan open house. 

Lebih lanjut, presiden Jokowi juga melonggarkan aturan bagi para pelaku perjalanan dari luar negeri yaitu terkait peniadaan karantina sehingga para PPLN hanya perlu melakukan tes swab PCR. 

Pelonggaran kebijakan ditujukan dengan maksud demi mewujudkan keinginan masyarakat setelah dua kali lamanya mengalami pelarangan kegiatan ibadah di bulan Ramadhan dan mudik, pelonggaran kebijakan tetap dilaksanakan tanpa mengendurkan penerapan protokol kesehatan.

Opini : Perlukah Larangan Aturan Mudik?

Hingga saat ini tren kasus COVID-19 di Indonesia memang dinyatakan mulai membaik. Namun, pada kenyataanya vaksin COVID-19 tidak membuat seseorang kebal 100 persen dari virus corona. Apalagi saat ini terdapat beberapa Subvarian baru Omicron (BA.1, BA.1.1, BA.2 dan BA.3) yang dapat bertransmisi dengan cepat. 

Orang yang telah divaksin pun masih memiliki kemungkinan untuk tertular dan menularkan COVID-19 hanya saja gejala yang dialami akan lebih ringan karena kekebalan tubuh meningkat.

Penyebaran vaksinasi di Indonesia juga belum sepenuhnya merata, masih ada beberapa daerah di Indonesia dengan tingkat vaksinasi rendah seperti di Papua. Banyak pula masyarakat yang belum melakukan vaksinasi dosis 2 dan 3. Padahal ketika melakukan perjalanan mudik resiko terbesar terpapar COVID-19 ada pada lansia yang dikunjungi oleh anak-anaknya.

Dengan begitu keputusan pemerintah untuk 'memberi kelonggaran' mudik dengan tetap memberikan persyaratan bagi pelaku perjalanan seperti minimal telah mendapatkan vaksin dosis 2 serta melakukan tes Antigen ataupun PCR sebelum melakukan perjalanan mudik adalah kebijakan yang tepat. 

Sebagaimana aturan tersebut dirasa lebih 'longgar' daripada aturan larangan mudik tahun lalu yang melarang melakukan perjalanan lokal untuk tujuan mudik kecuali dengan kondisi darurat seperti perjalanan dinas, keluarga sakit/meninggal,

 penanganan pasien kritis dengan tujuan ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi (Rumah Sakit kelas A) dan mendampingi ibu hamil yang akan melahirkan.. 

Meskipun begitu, seharusnya penetapan pelonggaran kebijakan tersebut tidak dilakukan secara terburu-buru diputuskan mengingat keputusan tersebut menyangkut hajat orang banyak. 

Pemberlakukan aturan larangan mudik pun pastinya akan memicu protes masyarakat. 

Namun, pemerintah tetap tidak boleh mengabaikan dampak mobilitas mudik yang berpotensi tinggi untuk membuat lonjakan kasus positif. 

Hakikatnya penyelesaian pandemi ini bukan hanya dipikul pemerintah, melainkan diperlukan pula kerjasama seluruh lapisan masyarakat. Kesadaran untuk melindungi diri dan orang lain perlu ditumbuhkan sehingga bersama-sama rantai penyebaran virus ini bisa diputus. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun