Dalam melakukan informed consent, seorang Psikolog atau Ilmuwan Psikologi harus memperoleh persetujuan untuk melakukan asesmen, evaluasi, intervensi, atau penggunaan informasi dalam bentuk apa pun. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan dalam pasal 64 kode etik psikologi yang menyatakan bahwa psikolog tidak boleh melakukan tindakan apapun yang melibatkan klien atau peserta penelitian tanpa mendapatkan persetujuan tertulis dari mereka (HIMPSI, 2010). Dengan demikian, melakukan informed consent tanpa persetujuan klien melanggar pasal ini secara langsung. Informed consent yang diperoleh harus bersifat sukarela, tanpa tekanan, dan setelah klien atau peserta penelitian memahami informasi yang diberikan mengenai prosedur, tujuan, risiko, dan manfaat dari layanan atau penelitian yang akan dilakukan.
      Informed consent adalah langkah penting yang harus diambil oleh setiap individu sebelum menggunakan layanan psikologi. Meskipun demikian, dalam beberapa kasus asesmen yang terkait dengan hukum, seperti kasus kriminal, pemberian informed consent mungkin tidak dapat dilakukan sepenuhnya sesuai dengan prosedur yang ada. Hal ini disebabkan karena pelaksanaannya telah diatur oleh peraturan perundang-undangan. Dalam situasi seperti itu, prosedur asesmen dapat tunduk pada aturan hukum yang berlaku, dan pemberian informed consent dapat terbatas atau diatur dengan cara yang berbeda. Meskipun demikian, prinsip-prinsip etika dan hukum tetap harus dihormati, dan langkah-langkah yang diambil haruslah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
      Tidak hanya kasus kriminal saja, dalam konteks penyeleksian karyawan atau mahasiswa dapat dijalankan tanpa prosedur informed consent. Dalam situasi seperti ini, peserta yang mendaftar untuk penyeleksian telah secara tidak langsung menyetujui dan mengetahui bahwa asesmen merupakan bagian dari proses seleksi. Pada dasarnya, persetujuan untuk mengikuti penyeleksian mencakup pemahaman bahwa proses tersebut mencakup berbagai tahap evaluasi, termasuk asesmen.Â
      Meskipun demikian, penting untuk memastikan bahwa peserta benar-benar memahami jenis asesmen yang akan dijalani, tujuannya, dan bagaimana hasilnya akan digunakan dalam keputusan seleksi. Meskipun prosedur formal informed consent mungkin tidak diperlukan, transparansi dan komunikasi yang jelas tetaplah kunci. Peserta sebaiknya diberikan informasi yang memadai tentang proses asesmen dan konsekuensinya agar mereka dapat membuat keputusan yang berdasarkan pemahaman yang baik tentang evaluasi yang mereka jalani.
     Selain itu, proses informed consent tidak perlu dilakukan secara rinci. Ketika melakukan pengambilan keputusan dalam suatu pekerjaan atau perkara. Dalam konteks ini, prosedur asesmen telah disesuaikan dengan keperluan dan peraturan yang berlaku, termasuk dalam kode etik psikologi dan peraturan perundang-undangan. Meskipun begitu, peserta asesmen sebaiknya diberikan informasi yang memadai mengenai tujuan asesmen, jenis instrumen yang digunakan, dan cara hasilnya akan digunakan dalam pengambilan keputusan. Komunikasi yang jelas dan saling pengertian tetap menjadi kunci, meskipun tidak selalu melalui prosedur formal informed consent.
      Salah satu case yang bisa diambil adalah ketika melakukan penelitian dalam sebuah bencana. Sangat dipahami bahwa mengatur penelitian, terutama yang melibatkan korban bencana yang rentan, dapat menjadi tugas yang sulit. Kasus seperti ini memang menantang karena melibatkan individu yang mungkin berada dalam kondisi sulit dan rentan, serta mungkin sulit untuk memberikan informed consent yang sepenuhnya melekat pada standar etika. Dalam situasi ini, penting untuk memastikan bahwa pemerintah dan komisi etik penelitian yang berwenang terlibat secara aktif dalam memberikan perlindungan dan pengawasan.Â
      Proses ethical approval (izin penelitian) harus dilakukan secara cermat dan kritis, dengan mempertimbangkan kepentingan, keamanan, dan kesejahteraan para peserta penelitian. Sementara proses informed consent mungkin tidak dapat dilakukan secara prosedural. Pemikiran kreatif dan sensitivitas terhadap kondisi khusus para peserta penelitian menjadi kunci dalam merancang dan melaksanakan penelitian yang etis.
      Dalam konteks penelitian pada korban bencana, terutama jika tidak memungkinkan untuk mendapatkan informed consent secara prosedural. Maka dari itu, langkah-langkah alternatif bisa dilakukan seperti mendapatkan ethical approval dari Komite Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) sangat penting. Pemberian "ijin penelitian darurat" atau persetujuan etis mendesak dapat menjadi solusi dalam situasi-situasi di mana kondisi darurat atau keadaan khusus tidak memungkinkan untuk mendapatkan informed consent seperti biasa.Â
      Dalam penelitian yang bersifat observasional atau survei, di mana risiko dan dampaknya lebih rendah, tetapi tetap memerlukan pertimbangan etis, mengajukan proposal kepada KEPK untuk evaluasi dan bimbingan adalah langkah yang bijak. Ini memastikan bahwa penelitian tetap berada dalam kerangka etika yang jelas dan diawasi oleh pihak yang berkompeten. Penting untuk mencari cara untuk melibatkan pihak berwenang dan melindungi kepentingan serta kesejahteraan peserta penelitian, bahkan dalam situasi darurat atau sulit.
Referensi:
HimPsi, H. K. X. Kode Etik Psikologi Indonesia (2010). Jakarta: Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia.