Sejak kecil saya dibesarkan di kota yang indah dikelilingi dengan barisan gunung yang menjulang dan dipagari dengan hamparan pantai. Secara garis besar saya sudah familiar dengan laut. Namun, karena tuntutan pekerjaan saya belum bisa mengunjungi laut. Beberapa tahun ini saya mendengar seakan laut memanggilku dengan suara angin kerinduannya.
Semakin lama semakin besar rasa rindu ini terhadap laut. Syukurlah saya mendapat peluang untuk bertemu dengannya. Acara gathering antar sesama pegawai di kantor saya, besepakat dilaksanakan di pulau untung jawa, salah satu gugusan pulau dari kepulauan seribu. Walau daerah ini masih masuk daerah DKI Jakarta, tapi sepertinya jarak pulau ini lebih dekat dengan tangerang.
Kami pun mengadakan rapat untuk penyelenggaraan kegiatan ini. Setelah dirapatkan telah terbentuk susunan panitia atau team work dan sebagai pegawai baru di kantor, saya ditunjuk sebagai salah satu panitia yang mengurusi spanduk dan sebagainya Mulai dari list peserta, komsumsi, agenda di pulau, transportasi bus dan kapal penyebrangan dan tak lupa pula doorprize untuk tiap pegawai. Semua hal telah dipersiapkan sisa menunggu hari H.
Acara ini bertujuan untuk mengikat tali persaudaraan antar pegawai dan keluarganya. Mulai dari suami dan istri, ibu, ayah, dan lebih banyak anak-anak dari para pegawai ikut dalam acara kali ini. Dan timbul pertanyaan untukku, ketika semua pegawai membawa sanak keluarganya, lantas saya akan membawa siapa? Terlebih lagi semua tahu saya seorang bujangan di kantor saya.
Inisiatif saya mengajak teman-teman lain yang ingin bersafari kelaut bersama dengan pegawai lainnya. Alhasil saya mendapat 2 jatah kursi kosong. Saya mengajak dua teman wanita saya. Dan mereka mau dan sepakat ingin ikut serta dalam acara ini. Namun, sayang sungguh sayang pada hari keberangkatan satu teman saya membatalkan secara mendadak dan secara prinsip ekonomi hal ini merugikan sehingga dengan seketika saya mengajak teman yang lain untuk mengisi bangku kosong tersebut.
Keterlambatan mengawali keberangkatan kami. Pukul 5.30 WIB. Hampir 30 menit kami menunggu peserta yang terlambat. Parahnya lagi peserta yang terlambat itu adalah dua orang teman saya tadi. Dengan memaksakan diri, saya menyusul teman saya yang jaraknya 15 menit dari parkiran bus. Dengan tergesa-gesa kami pun berlarian menuju bus tadi agar kedongkolan para peserta yang lain tidak menjadi lebih berkepanjangan. Sesampainya dalam bus saya langsung memperkenalkan teman saya ini kepada beberpa pegawai lain.
Suasana dalam bus terlihat menyenangkan karena hampir semua anggota keluarga sudah saling mngenal satu sama lainnya dengan keluarga yang lain. 1 jam 30 menit kami berada dalam bus. Dan menghantarkan kami di tanjung pasir dan selanjutnya perjalanan ke pulau menggunakan kapal laut “Isabella” dengan kapasitas 80 orang. Entah kenapa nama kapal tersebut Isabella.
Untuk pertama kalinya saya bertemu dengan pantai dan laut, sungguh aroma pantai yang dahulu selalu tercium saat masa kecil kembali bertiup menampar tubuhku. Namun, sangat disayangkan pesisir pantai tanjung pasir kurang jernih dan sampah banyak berserakan. Pemandangan yang tak sepatutnya terlihat di objek pariwisata seperti ini. Dalam hati terbesik wajar kalau wisatawan domestik lebih suka melancong ke negeri lain daripada menjelajahi negaranya sendiri.
Tidak terasa 30 menit kami berada diatas kapal tersebut, pemandangan yang disuguhkan di atas kapal seperti burung laut yang terbang kesana kemari, ikan loncat, dan hamparan laut yang biru. Setibanya di pulau untung jawa kami menaruh barang-barang kami di salah satu tenda milik pengelolah pulau tersebut. Panitia mulai menjelaskan agenda kegiatan hari itu, agenda pertama bermain beberapa wahana, makan siang sholat dan doorprize.
Pulau Untung Jawa adalah sebuah pulau berpenduduk, disana terdapat sebuah perkampungan yang menurut saya cukup tertata rapih dan bersih. Di sana banyak penginapan yang cukup murah, banyak juga rumah-rumah yang disulap menjadi toko cinderamata, rumah makan, serta tempat penyewaan alat snorkeling dan sepeda.
Wahana yang bisa diikuti yaitu snorkeling, banana boat, donat boat, dan hantu laut. Tiap wahana memiliki keunikan tersendiri. Snorkeling di pulau rambut, kami harus menaiki perahu kecil lagi untuk melihat spot terumbu karang dan ikan-ikan laut yang masih alami belum terkontaminasi dengan aktivitas manusia. Awalnya saya agak ragu untuk turun ke laut karena saya tidak bisa berenang, tapi sang nahkoda kapal memberikan semangat kepada saya. “masa cowo ga bisa snorkling” begitu kata bapak nahkoda. Akhirnya saya memberanikan diri untuk turun kelaut dan hasilnya saya merasa terapung dan terombang ambing tidak bisa melihat keindahan bawa laut yang dijanjikan. Dan setelah latihan beberapa menit, saya berhasil menguasai teknik snorkeling dan bisa melihat indahnya bawah laut pulau rambut ini.