Menikmati pendidikan belasan tahun di Indonesia membuat miris. Penilaian berorientasi hasil, bukan proses. Pembinaan mengabaikan EQ dan SQ. Isinya hafalan, cara cepat membabat soal, dan “ilmu” yang ketika diingat malah makin membuat lupa dan tambah lupa tanpa penekanan soal pemikiran kritis dan pembentukan sikap mental positif.
Di Indonesia, kualitas pendidikan masih memprihatinkan. Ada berberapa sekolah yang dikatakan tidak layak untuk dijadikan sekolah. Saya mendengar dari sebuah berita di televisi ada potret sekolah yang tidak layak dikatakan sebagai sekolah yaitu kandang sapi,,,karena keterbatasan kandang sapi dijadikan tempat sekolah.Sungguh sangat memprihatinkan...
Bagaimana pendidikan mau maju???
Contoh lain adalah UAN yang baru saja lewat beberapa waktu lalu. Banyak yang menilai UAN tak bermanfaat karena hanya mengkondisikan penyelewengan — demi anak didik dan sekolah terangkat citranya. Guru, kepala sekolah, dan bahkan pejabat daerah terlibat jadi tim sukses. Passing grade ditetapkan, tapi sarana, prasarana, dan sumberdaya belum terkondisikan. Begitu hasil jeblok, segala cara agar murid lulus, bukan dengan introspeksi.
Sebagian menyayangkan jerih payah tiga tahun hanya ditentukan dalam tiga hari. Banyak murid cerdas diterima SPMB S, tapi gagal dalam UAN. Murid cerdas justru terbebani mentalnya. Apalagi, andaikata tak lulus, mereka harus mengulang Paket C yang prestisenya kalah jauh. Dorongan belajar pada akhirnya justru sulit dibangkitkan dan hasil maksimal mustahil diperoleh.
Di sisi lain, kualitas pendidikan memang sedemikian rendahnya. Ketika ada wacana untuk menaikkan standar, protesdimana-mana. Bagaimana solusinya?
Jika KBK/KTSP diterapkan, kita semua harus konsisten. Evaluasi harus berdasarkan proses. Mungkin UAN tak perlu dipaksakan sebagai penentu kelulusan. Sejauh mana kesiapan kita untuk menerapkannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H