Mohon tunggu...
Amalia Juwita Agriyani
Amalia Juwita Agriyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Sarjana Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta

Halo! Perkenalkan nama saya Amalia Juwita, biasa disingkat Malju. Saya adalah mahasiswa program sarjana Ilmu Komunikasi di UPN Veteran Jakarta. Saya sangat meggemari segala hal tentang seni dan budaya populer. Selain menjadi mahasiswa, saat ini kesibukan saya sedang giat mempelajari bidang desain grafis yang saya post di akun instagram @water_me_luv.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tawuran: Menuju Solidaritas atau Liang Lahat?

11 Desember 2023   10:23 Diperbarui: 11 Desember 2023   10:26 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
megapolitan.kompas.com

Jika kita berbicara tentang ego kelompok remaja yang rapuh, sepertinya tidak akan ada habisnya. Banyak kelompok remaja tidak akan ragu untuk melontarkan pukulan untuk melindungi ego dan harga diri kelompoknya, bahkan jika itu berarti membunuh seseorang dalam prosesnya. Ketika mereka keluar sebagai pemenang dari konflik fisik, seperti tawuran, mereka akan benar-benar merasa seperti laki-laki sejati. Tawuran antar remaja biasanya menjadi hal yang secara generasional dilakukan terutama antara sekolah-sekolah yang berada di teritori yang sama.  Menurut Dr. Siti Mas'udah, S.Sos dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Keluarga (Konsep Teori dan Permasalahan Keluarga), perkelahian remaja cenderung melibatkan anak-anak sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). Poin ini diperkuat oleh pernyataan dari Kapolres Metro Bekasi Kota Kombes Pol Hengki kemudian menjelaskan bahwa sedikitnya tujuh pelajar asal Kota Bekasi berakhir kehilangan nyawa akibat aksi tawuran sepanjang tahun 2022. Data ini baru mencakup wilayah di Kota Bekasi, bagaimana jika ditambah dengan data di kota-kita lainnya? Dengan demikian, tergambar betapa seriusnya masalah ini dalam mengancam keselamatan generasi muda di masa mendatang.

Tawuran remaja biasanya diawali dengan provokasi melalui media sosial, kemudian diperkuat dengan rasa ingin melindungi harga diri kelompok dan 'wilayah kekuasaan'nya untuk membuktikan kesetiaan dan solidaritas meski terkadang beberapa remaja juga mendapat tekanan dari teman sebaya dan terpaksa untuk melakukannya agar tidak dicap 'cupu' oleh kawan sebayanya. Hal ini membuat ucapan Soekarno "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri" menjadi sangat masuk akal karena sangat miris mengingat generasi muda yang seharusnya bersatu untuk melindungi negara di masa depan justru berkelahi satu sama lain karena hal-hal yang cenderung sepele. Inilah mengapa dinamika kelompok tawuran remaja menjadi hal yang sangat menarik untuk dibahas.


Latar Belakang Masalah

Belum lama ini telah terjadi tawuran antar siswa di kabupaten Bogor, Jawa Barat Pada pukul 00.00 WIB. Tawuran tersebut bermula dengan adanya perjanjian yang terjalin antara dua siswa dari sekolah yang berbeda di media sosial untuk melakukan aksi tawuran. Siswa yang melakukan perjanjian tersebut kemudian mengajak dua orang temannya untuk ikut serta dalam aksi tawuran yang telah ia sepakati dengan pihak lawan. Namun sayangnya, semua anggota setuju untuk ikut serta dalam aksi tawuran tersebut. Persetujuan tersebut mereka ambil karena adanya tekanan yang diberikan pada anggota di dalam kelompok tersebut. Tekanan tersebut berupa perkataan 'tidak solid' jika tidak turut serta dalam kegiatan tersebut. Sehingga membuat setiap anggota dalam kelompok tersebut merasa bersalah jika tidak turut serta dalam aksi tawuran.

Saat hari perjanjian aksi tersebut dilakukan, kelompok yang berisikan lima orang tersebut tiba lebih dulu di TKP. pada saat kelompok tersebut sampai di TKP, salah satu anggota kelompok tersebut menyatakan bahwa kelompok lawan belum sampai di TKP. Mereka menunggu hingga kelompok lawan sampai. Saat Kelompok lawan sampai di TKP, kelompok lawan langsung menyerang dengan senjata tajam. Akibat dari serangan tersebut, mengakibatkan satu orang tewas akibat terbacok di bagian perut.

Korban langsung dilarikan ke rumah sakit  terdekat, namun sayangnya korban meninggal lebih dulu dalam perjalanan menuju rumah sakit. Dari kejadian tersebut, polisi tetapkan 7 tersangka dengan 4 tersangka berasal dari teman korban dan 3 orang tersangka dari pihak lawan.


Konsep Teori Groupthink

Jika fenomena diatas dilihat dari sudut pandang sebuah teori. Kasus tersebut sangat relevan dengan teori kelompok, yaitu groupthink. Teori groupthink merupakan teori yang dicetuskan oleh Irvin L Janis. Teori ini menjelaskan tentang tingginya kohesivitas yang ada pada suatu kelompok, sehingga memaksakan setiap anggota kelompok untuk memiliki kebulatan suara dalam proses pengambilan keputusan. Sedangkan menurut West dan Turner, teori groupthink merupakan sebuah cara yang digunakan oleh sebuah kelompok dalam proses pengambilan keputusan hingga melampaui motivasi untuk memikirkan kembali keputusan yang diambil.

Dikutip dari Intelektiva, (Mulyana, 1999) Mengatakan bahwa fenomena groupthink dapat kita lihat  ketika sebuah kelompok sedang berusaha untuk mengambil keputusan dari sebuah masalah yang ada pada kelompok. Hal tersebut dilakukan oleh anggota kelompok demi meminimalisasikan konflik yang ada tanpa mempertimbangkan keputusan yang diambil. Alasan lain yang mungkin saja menjadi alasan anggota kelompok tidak menyampaikan pendapatnya karena anggota kelompok takut terlihat bodoh karena memiliki pendapat yang berbeda dari pendapat mayoritas. Dengan adanya sebuah tekanan untuk mencapai kebulatan suara, pada akhirnya akan melahirkan anggota dengan pola pikir yang sempit.

Janis (1982) menyatakan ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya groupthink pada sebuah kelompok, faktor tersebut antara lain : 

  1. Kohesivitas yang tinggi yang ada pada sebuah kelompok pada saat pengambilan keputusan,

  2. Groupthink sudah menjadi ciri dari bagaimana kelompok tersebut mengambil sebuah keputusan,

  3. Adanya ciri-ciri pengambilan keputusan yang ada pada dalam dan luar kelompok yang dapat memberikan tekanan pada anggota kelompok untuk memiliki kebulatan suara.


Analisis Kasus

Jika kasus dikaitkan dengan teori groupthink, maka fenomena utama yang dapat diperhatikan merupakan fenomena dimana kesus tersebut dimulai, yaitu disaat setiap anggota kelompok diberikan tekanan untuk mencapai kesatuan suara tanpa memperhitungkan kosekuensi yang akan didapatkan. Dari fenomena tersebut, dapat kita lihat bahwa adanya groupthink pada kelompok tersebut. 

"Tidak solid" merupakan fenomena lain yang menandakan adanya groupthink pada kelompok tersebut. Pelabelan tersebut akan diberikan pada setiap anggota kelompok dengan pendapat yang berbeda. Dengan ancaman pelabelan tersebut pada akhirnya membuat setiap anggota pada kelompok tersebut enggan untuk menyatakan pendapat yang berbeda dengan pendapat mayoritas

Adanya persamaan kekuatan dari masing-masing kelompok pada akhirnya melahirkan kohesivitas atau solidaritas yang tinggi pada kelompok tersebut. Solidaritas yang tercipta tersebut membuat kedua belah pihak meyakini bahwa ketidaksatuan suara dapat mengancaman citra atau kehormatan kelompok, serta bukti pertemanan mereka. Tentu hal ini akan menimbulkan reaksi yang sama pada setiap anggota kelompok untuk menyetujui ajakan tawuran tersebut. 

Menurut Kurniati, Faradilla (2013) terdapat beberapa alasan pelaku tawuran yaitu dibagi menjadi dua kategori: (1) Pelaku pemula, pelaku ini mengikuti tawuran atas alasan, terjebak situasi tawuran, rasa solidaritas, dan ajakan senior. (2) Pelaku berulang, yaitu pelaku mengikuti  tawuran atas alasan tawuran dengan masih pihak yang sama dengan sebelumnya. Bagi mereka yang berbeda sepemikiran, tekanan dari label "tidak solid" lebih menyiksa diri mereka dibandingkan dengan tawuran. Hal ini dikarenakan label yang diberikan oleh kelompok dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari di lingkungan pertemanan dan sekolah. Label ini dapat terus berlanjut hingga ia lulus dari sekolah tersebut. Sedangkan, menerima ajakan mengikuti tawuran, hanya dilakukan pada saat itu saja, dan efeknya akan memberikan perspektif diri di mata anggota kelompoknya sebagai seseorang yang setia kawan. Ini didukung dengan hasil observasi yang dilakukan Turner dan Tajfel (Myers, 2015) menjelaskan bahwa individu merasa perlu menetapkan dirinya ke dalam berbagai kategori atau label. Dengan pertimbangan tersebut, mereka yang bungkam walau berbeda pemikiran lebih memilih untuk ikut ajakan tawaran walau beresiko agar segera berakhir.

Seharusnya ada tindakan preventif sebelum terjadinya kasus tersebut. Tindakan preventif tersebut antara lain dengan pemimpin tidak boleh meyuarakan usulan dahulu dan memberi kebebasan kepada setiap anggota untuk berdiskusi dan menyampaikan pendapat terkait ajakan tawuran yang diajukan oleh pihak lawan. Dengan memberikan kebebasan kepada setiap anggota untuk menyampaikan pendapatnya, dapat memungkinkan terhindarnya groupthink.  Lalu, pihak kelompok tidak memberi tekanan kepada setiap anggota untuk mempunyai keinginan yang sama yaitu menerima ajakan tawuran tersebut. Preventif ini diperuntukkan agar tidak adanya keterpaksaan juga untuk mencapai hasil keputusan suara yang sama terkait yang menyetujui dan tidak menyetujui tantangan tawuran dari pihak lawan. 


Kesimpulan

Peristiwa tawuran remaja di Kabupaten Bogor memunculkan rasa prihatin  terhadap kondisi dinamika sosial di kalangan remaja. Kerapuhan ego kelompok remaja yang bisa mengakibatkan konsekuensi serius, bahkan berujung pada kehilangan nyawa. Dinamika ini sebagian besar dipicu oleh tekanan internal dalam kelompok, di mana anggota merasa terdorong untuk terlibat dalam tawuran sebagai bentuk membuktikan solidaritas dan keberanian. Peran media sosial sebagai platform untuk saling memprovokasi juga memainkan peran penting dalam memicu tawuran antar siswa.

Kejadian tersebut juga menegaskan urgensi peran pendidikan dan sinergi dari pihak sekolah, keluarga, dan masyarakat untuk membangun kesadaran akan dampak negatif dari tindakan tawuran, serta membangun pemahaman pentingnya komunikasi untuk menyelesaikan suatu konflik secara damai. Diperlukan pendidikan yang melibatkan aspek psikologis dan sosial supaya para remaja dapat mengelola emosi, memahami dampak tindakan mereka, dan mengembangkan sikap yang positif, toleransi dan memiliki empati terhadap sekitar. Dengan ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan  yang lebih sejahtera, aman, dan penuh toleransi.

Nah, menurut commers gimana? Untuk penjelasan lebih lanjutnya, yuk tonton video podcast berikut!



Daftar Pustaka

PAMUNGKAS, E., Nugraheni, I. D. A., & RAHMANTO, A. N. (2019). DOMINASI GROUPTHINK BIROKRASI DAN ILUSI KOHESIVITAS PEMANGKU KEPENTINGAN DI PURBALINGGA. JURNAL EKONOMI, SOSIAL & HUMANIORA, 1(02), 32-42.

Sulistyanto, A. (2021). Fenomena Pembentukan Groupthink dalam Aksi Unjuk Rasa Mahasiswa. PODCAST: Jurnal Ilmu Komunikasi, 1(1).

Zainuddin, K., Firdaus, F., & Nurdin, M. N. H. (2013). Mengapa Kami Tawuran? Tawuran dari Kacamata Pelaku. Psikologika: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, 18(1), 77-88.


Ditulis Oleh: Farah Nur F, Yasmin Hasna S, Rahma Aprilia, Amalia Juwita A, Tsabitah Surakhman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun