Mohon tunggu...
Amaliyah Nurmely R. Saragih
Amaliyah Nurmely R. Saragih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Public Health Enthusiast

seeking to share every possible thing!

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Sebuah Evaluasi: Tren Pernikahan di Indonesia Menurun, Mengapa Angka Pernikahan Dini Tetap Tinggi?

11 Juni 2024   18:32 Diperbarui: 11 Juni 2024   20:04 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pinterest.com/Daisydreamy

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan bahwa jumlah pernikahan di Indonesia pada tahun 2023 hanya mencapai 1.577.255 pasangan. Angka ini mengalami penurunan sebesar 7,51% atau sekitar 128.000 pasangan dibandingkan dengan tahun 2022, yang mencapai 1.705.348 pasangan. Penurunan ini tidak hanya terjadi dalam satu terakhir, tetapi telah terjadi secara konsisten setidaknya selama lima tahun terakhir (Detik.com, 2024 & CNN Indonesia, 2024). 

Penyebabnya adalah perempuan memiliki lebih banyak peluang untuk mengembangkan diri, melanjutkan pendidikan, dan bekerja, mengurangi ketergantungan pada pernikahan. Faktor lainnya yaitu, banyak laki-laki mengalami kesulitan ekonomi dan sulitnya mencari pekerjaan, ketidaksiapan mental untuk menikah, meningkatnya kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan perselingkuhan, serta tingginya angka perceraian, kesibukan karir, trauma, kurangnya kepercayaan diri untuk mencari pasangan, dan mahalnya mahar pernikahan di beberapa daerah (Detik.com, 2024 & RRI.co.id, 2024). 

Di sisi lain, di tengah menurunnya angka pernikahan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, pernikahan dini masih menjadi masalah yang serius di kalangan masyarakat. Berdasarkan data United Nations Children's Fund (UNICEF) tahun 2023, Indonesia berada di peringkat empat dalam perkawinan anak global dengan 25,53 juta kasus (news.schoolmedia.id, 2023). Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS 2022-2023 menunjukkan peningkatan pernikahan pertama di bawah usia 19 tahun pada perempuan, dari 33,28% pada 2022 menjadi 33,74% pada 2023. Secara keseluruhan, 1,2 juta anak di Indonesia terlibat perkawinan anak, dengan 11,21% perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum 18 tahun. Kontras dengan laki-laki, hanya 1 dari 100 yang menikah di usia anak (Kemenko PMK, 2023). 

Persentase Perempuan Usia 20-24 Tahun yang Melangsungkan Perkawinan sebelum Usia 18 Tahun menurut Provinsi, 2018 (UNICEF, 2020)
Persentase Perempuan Usia 20-24 Tahun yang Melangsungkan Perkawinan sebelum Usia 18 Tahun menurut Provinsi, 2018 (UNICEF, 2020)

Jika dianalisis menggunakan beberapa teori perilaku, terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya pernikahan dini. Berdasarkan Teori Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model), pernikahan dini seringkali terjadi karena individu dan masyarakat kurang memahami risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh pernikahan dini. Mereka mungkin tidak menganggap pernikahan dini sebagai ancaman kesehatan yang serius atau tidak menyadari keparahan dampaknya terhadap kesehatan fisik, mental, dan sosial-ekonomi. 

Menurut Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behaviour), norma subjektif dan sosial budaya yang mendukung praktik pernikahan dini perlu diubah melalui kampanye edukasi dan promosi kesehatan. Upaya ini bertujuan untuk mengubah persepsi masyarakat, sehingga pernikahan dini dianggap tidak diinginkan dan berisiko. Selain itu, penting untuk meningkatkan persepsi kontrol individu dan masyarakat terhadap penolakan atau penundaan pernikahan dini. Keterbatasan ekonomi, akses pendidikan, dan faktor-faktor lain yang membatasi kemampuan mereka harus diatasi melalui program pemberdayaan dan peningkatan akses sumber daya.

Perkawinan anak membawa dampak negatif, seperti tingginya angka kematian bayi dan ibu. Bayi dari ibu di bawah 20 tahun berisiko 1,5 kali lebih besar meninggal sebelum usia 28 hari dibandingkan bayi dari ibu berusia 20-30 tahun. Perkawinan dan kelahiran di usia anak juga meningkatkan risiko stunting. Selain itu, anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun, 4 kali lebih rentan tidak menyelesaikan pendidikan menengah dan menghadapi kemiskinan intergenerasi (Kemen PPN/Bappenas, 2019). Selain itu, perkawinan anak berkontribusi pada kemiskinan intergenerasi. Perkawinan anak merampas hak-hak dasar anak, seperti pendidikan, perlindungan, dan hak untuk bermain (Kemenko PMK, 2023). 

Secara khusus, berikut rangkaian upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk mencegah perkawinan anak, di antaranya (UNICEF, 2020 & Kemenko PMK, 2023):

  1. Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014), yang menyatakan bahwa orang tua harus mencegah perkawinan anak.

  2. Perubahan pada Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974), yang menaikkan usia minimum bagi perempuan untuk menikah dari 16 tahun menjadi 19 tahun dengan menyesuaikan pada keputusan Mahkamah Konstitusi Desember 2018 yang menyebutkan bahwa perbedaan usia minimum menikah antara laki-laki dan perempuan adalah diskriminasi.

  3. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
    Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun