Secara bahasa, zakat berarti suci, berish, tumbuh, dan berkembang. Ketika seorang Muslim mengeluarkan zakat, berarti ia menyucikan harta yang dimilikinya dari hak fakir miskin. Hal tersebut berkesinambungan untuk mengembangkan aset kekayaannya agar berkah, bertambah, serta senantiasa mendapatkan ridha Allah SWT.Â
Zakat menjadi kewajiban bagi setiap Muslim, baik laki-laki, perempuan, hingga anak anak. Namun, tetap berkenaan dengan jenis harta tertentu dengan syarat dan ketentuan yang telah diatur. Tujuannya untuk diberikan kepada mustahik (penerima) zakat.Â
Menurut Allah, berzakat berarti menumbuhkembangkan harta yang dimiliki. Pada hakikatnya, harta yang dizakati tidak akan berkurang, melainkan bertambah. Bukan bertambah dalam segi jumlah, melainkan kualitasnya dan keberkahannya. Keberkahan yang diberikan dapat berupa energi positif, khususnya antara muzakki (orang yang berzakat), mustahik, serta narahubung yang menjembatani keduanya.
Selain itu, keberkahan zakat akan terlihat jelas pada dimensi tasawuf sebagai berikut.
Zakat Mengikis Sifat Bakhil
Bagi seorang Muslim, zakat menjadi bagian dari langkah strategis guna tazkiyat al nafs (menyucikan diri), terkhusus dari sifat bakhil dan kikir. Sebab, keduanya menjadi penyakit yang bersifat destruktif atau merusak secara kejiwaan. Â
Menurut al-Ghazali, salah satu metode efektif untuk menghilangkan sifat kikir pada diri seseorang adalah membiasakan diri untuk mengeluarkan harta melalui infak, zakat, serta sedekah. Sebab, kecintaan terhadap harta tidak akan dapat dihilangkan, kecuali dengan memaksakan jiwa untuk berpisah dengan harta tersebut.
Selain itu, tingkat keberhasilan seorang Muslim dalam menyucikan dirinya saat berzakat bergantung pada kualitas niat, keikhlasan, serta kelegaan hati saat menunaikannya. Sehingga, kedermawanan yang tumbuh sedikit demi sedikit akan menjadi kebiasaan, karakter, serta kepribadian muslim.
Zakat Mengaktualisasikan Rasa Syukur atas Nikmat Allah SWT
Nikmat yang dianugerahkan Allah SWT kepada hamba-Nya sangatlah luas, baik secara kenikmatan fisik-biologis, maupun mental-spiritual. Ibadah badaniah, seperti shalat dan berpuasa menjadi salah satu bentuk rasa syukur terhadap nikmat kesehatan dan kebugaran. Sementara zakat, infak, dan sedekah menjadi bentuk rasa syukur atas harta yang dilimpahkan Allah SWT.Â
Menurut al-Ghazali, hal yang sangat ironis adalah ketika seseorang diberi kelapangan harta oleh Allah, tetapi tidak tergerak untuk membantu fakir miskin sebagai bentuk rasa syukur-Nya.Â