Mohon tunggu...
Amalia Mumtaz Nabila
Amalia Mumtaz Nabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pop-culture entusiast who loves to write what's on her mind.

obrolanku yang lainnya: kunciperak.wordpress.com ll email: amaliamtznbl@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Basa-Basi Kala Lebaran: Buntut Kesedihan Gagal Masuk PTN

25 Maret 2021   16:58 Diperbarui: 25 Maret 2021   17:00 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena terkadang, tes masuk PTN bukan hanya soal apa yang tertulis, bukan soal memasuki jenjang baru pendidikan demi meraih mimpi di masa depan. Jika kegagalan yang diterima, ada setumpuk perasaan sedih, kecewa, dan insecure. Jadi cobalah untuk tidak membuatnya menjadi lebih parah.

Hari Senin, 22 Maret 2021 adalah mungkin hari penentuan bagi ribuan anak-anak tingkat akhir SMA yang berniat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan. Iya, hari pengumuman SNMPTN. Jika mengingat-ingat lagi, saya ada di posisi mereka empat tahun lalu. Anak SMA tingkat akhir yang sedang was-was apakah saya diberi kesempatan oleh Tuhan untuk melanjutkan studi ke universitas. Mungkin yang jadi pembeda adalah saya tidak bisa se-relate itu sama anak-anak yang melihat layar merah di tanggal 22 Maret 2021 tersebut. Singkatnya, karena saya bukan bagian dari anak-anak beruntung yang bisa mengikuti seleksi SNMPTN. Tapi itu cerita di lain hari.

Rasa sedih karena ketidakberuntungan saya langsung saya simpan baik-baik sejak pertama kali saya diberitahu bahwa saya tidak lolos seleksi. Saya sedih, saya menyalahkan diri sendiri kenapa tidak belajar dengan benar ketika masih ada waktu, selanjutnya saya move on. Masih ada SBMPTN dan jalur mandiri yang harus saya hadapi. Berbulan-bulan saya mempersiapkan diri untuk mengikuti SBMPTN. Pada saat itu saya cukup merasa beruntung karena memiliki tema-teman seperjuangan. Sambil menikmati masa-masa perjuangan bersama teman-teman, sedikit-sedikit saya sadar bahwa perjuangan saya harus lebih dari maksimal demi mengejar segala ketertinggalan dalam memahami materi selama tiga tahun saya bersekolah.

Meskipun gugup, saya agak sedikit lega ketika menyadari bahwa saya tidak terlalu kesulitan dalam mengerjakan soal SBMPTN. Itu tandanya, usaha belajar saya tidak akan terbuang sia-sia. Dengan pundak yang lebih ringan dan hati yang sedikit lega, saya pulang dari tempat tes SBMPTN dengan langkah yang cukup percaya diri. Saya yakin setidaknya ada satu dari tiga universitas yang saya pilih akan menerima saya sebagai calon mahasiswanya. Segala keyakinan itu terlihat lucu kalau dipikirkan lagi sekarang, karena hidup punya jalan lain dalam menguji manusianya, pada percobaan kedua ini, lagi-lagi saya gagal mendapatkan kursi di PTN.

Berbeda seperti saat mudahnya untuk bangkit dan move on ketika tidak mendapatkan slot mengikuti SNMPTN, gagal masuk universitas dalam seleksi SBMPTN ini memberikan dampak yang cukup besar kepada saya waktu itu. Beberapa alasannya, yaitu pertama, ada harapan yang terbentuk ketika dengan mudahnya saya mengerjakan soal-soal di hari pengambilan tes. Kedua, karena harapan dan keyakinan yang sudah terbentuk tadi, saya menjadi kurang siaga untuk membuat plan B. Ketiga, apa yang akan saya katakan kepada keluarga besar di hari Lebaran nanti? Jawaban apa yang akan saya berikan untuk menjawab basi-basi mereka soal "kuliah di mana?", "SBMPTN lolos 'kah?", dan lain- lain, dan lain sebagainya?

Meskipun saya tidak sepenuhnya menyalahi basa-basi di waktu Lebaran. Pada dasarnya, basa-basi adalah... ya basa-basi, ketika seseorang melontarkan kalimat basa-basi, bisa jadi memang tidak ada maksud tertentu apalagi menyakiti perasaan orang lain. Barangkali hanya sebatas ingin tahu, atau bisa jadi malah benar-benar tidak tahu harus mengobrol apalagi. Salah satu alasan kenapa basa-basi bisa menyakiti hati adalah karena saya saat itu (atau kamu saat ini) sedang merasakan duka atas kegagalan yang sedang dirasakan. Luka yang belum sembuh itu "dipaksa" untuk dibuka berkali-kali dalam satu waktu.

Mungkin tulisan ini bisa menjadi bahan persiapan bagi pembaca yang memiliki sanak saudara yang masih berjuang untuk masuk ke universitas. Jikalau kalimat basa-basi di atas terlanjur terucap, berikanlah dukungan atau kalimat-kalimat sederhana (misal, sebatas ucapan "semangat!") sekadar untuk menghibur.

Untuk adik-adik yang membaca ini dan sedang merasakan kesedihan atas kegagalan ditolak seleksi masuk universitas... it's okay. Tidak apa-apa kalau kamu merasa sedih saat ini, tidak apa-apa merasa kecewa, but just keep in mind this will pass too. Kamu sudah berjuang sejauh ini dan itu hebat. Mungkin ada jalan di depan yang lebih menakjubkan dari apa yang saat ini kamu anggap sempurna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun