Mohon tunggu...
Amalia E. Maulana
Amalia E. Maulana Mohon Tunggu... lainnya -

Founder and Managing Director of ETNOMARK Consulting. A brand consultant and ethnographer; Business communities (Branding, Marcomm, and Ethnography Research) advisor & consultant. || web: www.amaliamaulana.com || twitter: @etnoamalia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Obama Selfie: Koridor Konteks

19 Desember 2013   08:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:45 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13874147481374729897

‘A picture worth thousand words’

Dalam studi etnografi sering diulas betapa sebuah gambar bercerita banyak tentang sebuah situasi, sebuah rekaman yang nyata terhadap ekspresi interaksi antar aktor.

Karenanya, dalam etnografi pemasaran, kekuatan gambar itu juga mendasari pengumpulan foto-foto tentang kegiatan konsumen dalam kesehariannya.

Sangat menarik mengikuti perkembangan kasus Foto ‘Selfie’ Presiden Obama. Dari satu dua foto saja, cerita yang berkembang di media massa dan media sosial sudah sedemikian luas dan melebarnya.

Eksposure pertama saya tentang foto ‘Selfie’  Presiden Obama bersama Perdana Menteri Inggris David Cameron dan Perdana Menteri Denmark Hellen Thorning Schmidt adalah dari Facebook salah satu teman. Kesan instan, seperti yang bisa diduga adalah keheranan dan langsung mempunyai prejudice tentang betapa tidak sensitif nya para kepala negara tersebut. Saat pemakaman tentu bukan saat yang tepat untuk ‘berfoto-ria’ apalagi secara ‘selfie’ tersebut.

Selfie adalah kata baru yang marak belakangan ini semenjak teknologi kamera semakin canggih. Selfie adalah kegiatan memotret diri (sendiri atau beberapa orang) dan biasanya dengan sudut yang agak miring untuk mendapatkan hasil lebih baik. Selfie juga menghiasi banyak kehidupan online sosial seseorang, dimuat di blog, di facebook, di twitter dll. Biasanya foto-foto ini casual dan pemotretnya ikut di dalam foto tersebut.

Bahkan ada istilah ‘group selfies’ yang melibatkan lebih dari 1 orang di dalam pemotretannya. Photo yang menghebohkan di pemakaman Mandela itu bisa dikategorikan sebagai Group Selfie.

Khususnya untuk Obama, cerita foto tersebut berkembang pesat dengan menggunakan elemen lain yang juga tergambar di sana. Ekspresi Michelle Obama yang duduk di sebelah ketiga kepala negara tersebut tampak kesal, cemberut dan seperti diasingkan (dialienasi).  Persepsi saya terhadap Obama menjadi terbentuk oleh (1) ekspresi foto, (2) ulasan-ulasan yang menyertainya, terutama pembahasan di media sosial yang mengalir secara deras.

Momentum ini tentu saja merupakan senjata yang sangat paten bagi pihak-pihak yang sudah sejak awal tidak menyukai Obama dan menganggap Pemilihan Obama sebagai Presiden dari Amerika Serikat sebagai sebuah kesalahan.  Bahwa Obama tidak punya sensitifitas baik ke rakyatnya (karena mewakili mereka dalam pemakaman tersebut). Bahwa Obama tidak punya sensitifitas terhadap istrinya Michelle. Bahwa Obama tidak punya sensitifitas kepada rakyat Afrika Selatan yang sedang berkabung.

Kesan negatif ini sangat mudah untuk dibangun dalam cerita-cerita yang mengikuti foto-foto yang menggambarkan Selfie Obama ini. Dan, tentu saja saya termasuk salah satu orang yang terbawa pada impresi tersebut.

Seorang South African yang tinggal di New York, sebagai contoh, sangat terkejut bahkan ‘completely shocked’ dengan munculnya foto Selfie Obama & friends tersebut. Dalam bayangannya foto tersebut diambil pada saat-saat penting pemakaman Mandela dan itu dianggap sangatlah tidak pantas.

Kesan saya mulai berubah pada saat membaca cerita baru yang ditulis oleh jurnalis foto pembuat foto-foto tersebut yaitu Roberto Schmidt.  Tulisannyasberjudul ‘The Story behind “that selfie’.

Robert menjelaskansbahwasfoto-fotonyastersebusttelah ‘diterjemahkan’ dalamberbagairangkaiancerita yang menurutnyakeluardari ‘Konteks’.Iasendiriherandenganpenjelasanbanyak ‘analis’ di media sosial yang tanpamengerti ‘cerita’ yang sebenarnyamenganggap Michelle Obamaseolah-olahdikesampingkan. Menurutnya, ‘photos can lie’. Kenyataanya, hanyabeberapasaatsebelumfotoitudiambil, Michelle berbincang-bincangdengansangat ceria denganorang-orangdisekitarnya.Wajah Michelle yang ‘tegang’ tersebuttertangkapkamerasecaratidaksengajasaja.

Pembelaan sang jurufotojugatentangkontekssaatpengambilanfoto, ternyatabukanpadasaatberlangsungnyapemakaman, tetapibeberapa jam setelahnya, padasaatlebihdarisepuluhribuorangsedangmerayakandi stadium tersebut. Keadaannyasangatcairdanmenurutnya ‘snapping a selfie’ merupakanhal yang biasadan natural saja.SudahtidakjamannyalagiseorangkepalaNegaraharusselaluseriusdankaku, terutamadalamgenerasiObama.

Pelajaran yang dipetikdarikasusObamaadalah ‘janganlah jump to conclusion’ hanyadenganmempunyaisatudimensi data saja.Yang perludilakukanadalahmempelajarisecara holistic sebuahsituasi.Memahamikonsumenjugaperlumenggunakanbeberapateknikpenggalian insights daninformasi multi dimensi.

Fotografi tidak bisa dianggap sebagai satu-satunya data atau informasi. Teknik fotografi sebagai sebuah snap shot, harus dikombinasi dengan berbagai teknik lain seperti interview, observasi langsung dll, agar bisa merangkai sebuah cerita berdasarkan pemahaman konteks yang tepat. Cerita tersebut menjadi lebih bernilai karena tidak keluar dari koridor situasi yang sebenarnya sedang terjadi.

Contoh lain untuk pembahasan pentingnya konteks adalah konflik Film Soekarno. Terlepas dari siapa yang benar dan salah, saya juga melihat ada sesuatu yang bisa dijadikan pelajaran dalam konflik Rahmawati – Hanung Bramantyo. Sejarah itu multi-tafsir, multi-interpretasi. Melibatkan sejarawan, melibatkan keluarga tokoh akan membantu menjembatani kesalahpahaman yang tidak perlu terjadi bila disikapi sejak awal.

Keresahan dari pihak keluarga Sukarno adalah seputar beberapa adegan yang dianggap keluar dari ‘konteks’. Bahwa mereka yang seharusnya menjadi narasumber penting dilibatkan dalam proses pembuatan film Sukarno garapan Hanung Bramantyo. Harus ada yang mengawal proses pembuatan film yang dibuat berdasarkan kisah nyata, apalagi ini adalah bagian dari sejarah bangsa.

Beberapa ‘kekeliruan’ yang dianggap mengganggu diantaranya adalah tentang perumusan naskah proklamasi. "Padahal naskah proklamasi dibuat oleh Bung Hatta, bukan Bung Karno, demikian menurut Rahmawati.

Dalam penggambaran sebuah situasi dalam bentuk cerita baik itu cerita foto jurnalistik maupun cerita film,  sangat penting mempertahankan koridor konteks.

(Dimuat di Kolom Branding Solution, Koran Sindo, 18 Desember 2013)

Amalia E. Maulana, Ph.D.

Brand Consultant & Ethnographer, ETNOMARK Consulting

Penulis Buku “BRANDMATE”

www.amaliamaulana.com , www.etnomark.com

@etnoamalia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun