Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Pendidikan Sebagai Tameng Pencegah Pernikahan Dini

21 Mei 2017   17:30 Diperbarui: 22 Mei 2017   12:55 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia mempunyai seni dan budaya yang sangat beragam. Dengan status sebagai Negara kepulauan, tidak terhitung berapa banyak kebudayaan yang tumbuh di setiap pulau di Negara Indoensia. Keberagamanan tersebut membawa dampak baik dalam pariwisata Indonesia dimata internasional. Menurut Travel and Tourism Competitiveness Index World Economic Forum (WEF) dengan tercatatnya Country Branding Wonderful Indonesia yang semula tidak masuk ranking branding di dunia, namun pada tahun 2015 Country Branding Wonderful Indonesia melesat lebih dari 100 peringkat menjadi ranking 47 dengan mengalahkan Malaysia dan Thailand.

Disisi lain prestasi sektor pariwisata dan keberagaman budaya di Indonesia sangat mengesankan, terdapat pula budaya yang membawa pengaruh negatif bagi Indonesia. Pasalnya, hasil penelitian Mahasiswa Program Magister Kriminologi Peminatan Perlindungan Anak pada September 2016 masih banyak adat, tradisi, dan budaya membuat negara harus menyumbang sebanyak 22.000 jiwa perempuan muda, dengan range usia 10-14 tahun memegang predikat telah menikah. Dengan adanya data tersebut United National Development and Social Affair (UNDESA) menyatakan  angka pernikahan anak bagi negara Indonesia menduduki peringkat ke dua tertinggi di ASEAN dan ke-37 untuk seluruh dunia.

Masalah ini semakin berkembang dengan berlakunya peraturan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan usia minimum pernikahan bagi anak perempuan pada usia 16 tahun dan usia 19 tahun bagi anak laki-laki. Hal tersebut menimbulkan banyak pro dan kontra bagi organisasi dalam negeri maupun luar negeri.

Menjadi masalah yang dianggap krusial dan sangat sensitif karena berkaitan dengan masalah sosial, tradisi, kebudayaan, ekonomi, serta agama. Dimana hanya memberikan dampak negatif bagi para pelakunya maupun kemajuan negara.

Dengan kesiapan mental yang tidak matang, pernikahan dini hanya akan berujung pada perceraian dan tidak sedikit pula kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jika dilihat dari sisi kesehatan perempuan, pernikahan dini juga membawa dampak tidak baik dikarenakan ketidaksiapan organ reproduksi yang hanya menyebabkan kesakitan, trauma seks berkelanjutan, pendarahan, keguguran, bahkan bisa berakhir pada kematian sang ibu saat proses melahirkan. Hal inilah yang mempengaruhi  tingginya tingkat fertilitas usia produktif Indonesia.

Isu pernikahan dini menjadi salah satu topik perhatian penting pada kerangka kerjasama Sustainable Develompment Goals dengan tujuan pemerintah di seluruh dunia sudah bersepakat menghapus perkawinan anak pada tahun 2030 (CNN Indonesia, 22/03/2016). Pada tahun yang sama Indonesia diprediksi mengalami “Bonus Demograsi” yaitu dimana jumlah usia angkatan kerja atau usia produktif (15-64 tahun) sangat mendominasi hingga 70%. Diharapkan fenomena ini membawa dampak positif bagi pembangunan negara, untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui bidang sosial atau  teknologi yang secara tidak langsung akan berpengaruh baik dalam mengurangi angka pernikahan dini di Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, melalui pendidikan pemerintah mencanangkan program belajar 12 tahun. Artinya pada usia 18 tahun baru menyelesaikan pendidikan, sehingga membutuhkan 1-2 tahun selanjutnya baru bisa memikirkan untuk menikah (Liputan6, 28/02/2017). Strategi tersebut diharapkan dapat mengantisipasi pernikahan dini yang semakin lama semakin berkembang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun