Indonesia adalah negara besar dengan peradaban yang cukup mapan di masa lampaunya. Dengan dua kerajaan, Majapahit dan Sriwijaya yang mampu menguasai wilayah nusantara dan sekitarnya.Â
Dengan "Sumpah Palapa" yang diucapkan Patih Gajah Mada menjadi bukti autentik sejarah. Namun itu hanya sekedar sejarah. Indonesia kini menjadi salah satu negara termiskin di bidang literasi. UNESCO mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001.Â
Masyarakat Indonesia rata-rata membaca 0 -- 1 buku per tahun. Kondisi ini lebih rendah dibandingkan penduduk di negara-negara ASEAN selain Indonesia, yang membaca 2 -- 3 buku per tahun. Angka tersebut kian timpang saat disandingkan dengan warga Amerika Serikat yang membaca 10 -- 20 buku per tahun. Saat bersamaan, warga Jepang membaca 10 -- 15 buku per tahun (Republika, 12 September 2015). Indonesia darurat literasi!Â
Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia sudah pada tahap kritis. Dalam survei Programme for International Students Assessment (PISA) pada 2015, posisi Indonesia berada di urutan ke-64 dari 72 negara, selama kurun waktu 2012 -- 2015.Â
Hasil tes tersebut menunjukkan bahwa kemampuan memahami dan keterampilan menggunakan bahan-bahan bacaan, khususnya teks dokumen, pada anak-anak Indonesia usia 9 -- 14 tahun berada di peringkat sepuluh terbawah (Panduan GLN 2017 Kemendikbud).
Padahal Indonesia di tahun 2030 diprediksi mengalami keuntungan secara demografi. Dengan luasnya wilayah serta banyaknya masyarakat Indonesia usia produktif di saat itu, terlebih dengan adanya perkembangan industrialisasi dengan teknologi 4.0 serta perkembangan digitalisasi melalui era society 5.0 atau smart society seharusnya mampu membangun peradaban Indonesia secara baik.Â
Namun, menilik kemampuan literasi masyarakat Indonesia maka beban kemiskinan berliterasi akan berdampak pada kemajuan suatu bangsa. Tentu Indonesia akan kalah bersaing dengan masyarakat dunia yang kemampuan literasinya cukup baik.Â
Dan yang menjadi salah satu penyebab rendahnya literasi di Indonesia adalah jumlah perpustakaan yang minim dan tidak modern, ketersediaan buku, minat baca masyarakat yang rendah, minimnya akses informasi yang akurat, serta kurang adanya media permainan yang berbasis literasi. Karena itu butuh langkah cerdas untuk membangun perpustakaan yang mampu bersaing di era society 5.0 secara tepat guna.
Meskipun sejak tahun 2016 pemerintah telah melaksanakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS), namun tantangan program GLS masih cukup besar. Diantaranya kondisi sarana dan prasarana untuk mendukung program GLS, yakni perpustakaan sekolah dan kampus masih jauh dari kata memadai.Â
Jumlah perpustakaan SD terdata sekitar 61,45 persen dari seluruh jumlah sekolah, tetapi hanya 19 persen diantaranya dalam kondisi baik; SMP sebanyak 76,25 persen dan hanya 22 persen dalam kondisi baik; SMA sekitar 76,40 persen dan hanya 33 persen dalam kondisi baik; SMK sejumlah 60,34 persen dan hanya 27 persen dalam keadaan baik (Statistik Pendidikan Dasar dan Menengah 2016/2017, Kemendikbud).Â
Padahal perpustakaan merupakan pusat informasi untuk literasi. Inilah yang perlu ditata ulang bagaimanakah membangun perpustakaan yang mampu berdaya saing di era teknologi 4.0 serta berbagai program berbasis literasi digital yang mampu membangkitkan semangat berliterasi masyarakat?