Saya terbiasa menyelesaikan tugas tepat waktu, bahkan tak jarang saya menyelesaikannya sebelum deadline itu tiba agar tidak menjadi beban pikiran. Namun, lain halnya jika itu menyangkut kerja kelompok. Yang diinginkan sebagian besar orang biasanya mendapat anggota kelompok yang memiliki tekad tinggi dalam menyelesaikan tugas agar dapat selesai tepat waktu, bahkan lebih baik lagi jika terselesaikan sebelum deadline itu tiba agar hati menjadi plong. Awalnya saya dengan kelompok saya sepakat untuk menyelesaikan tugas tepat waktu, namun karena beberapa hal yang tidak terduga, kami terpaksa menunda dan akhirnya menyelesaikannya mepet sebelum deadline. Ini membuat kami merasa sedikit kecewa karena tidak bisa memenuhi target yang telah ditetapkan. Awalnya, kami semangat untuk menyelesaikan tugas tepat waktu. Semua setuju, rencana dibuat, target dipatok. Namun, seiring berjalannya waktu, semangat mulai luntur. Satu per satu anggota mulai menunda hingga tanpa disadari, waktu terus berjalan, dan tenggat semakin dekat. Ketika akhirnya sadar bahwa waktu hampir habis, semuanya jadi panik. Dan disaat itulah sistem kebut semalam dilakukan agar tugas dapat terselesaikan. Ini pelajaran bahwa menunda pekerjaan hanya dapat memperumit situasi. Menurut saya, pengalaman ini merupakan contoh implementasi dari Teori Normalisasi Deviasi milik Diane Vaughan yang menjelaskan tentang bagaimana suatu tindakan yang awalnya dianggap "menyimpang" dapat diterima atau bahkan menjadi hal yang biasa dalam sebuah kelompok. Dapat dibayangkan, sama halnya seperti suatu kebiasaan kecil yang awalnya terkesan aneh, namun seiring berjalannya waktu menjadi terbiasa karena biasa melakukannya. Vaughan pertama kali memunculkan teori ini dalam penelitiannya tentang kecelakaan pesawat ulang-alik, terutama dalam konteks kegagalan teknologi seperti kecelakaan Challenger.
'The gradual process through which unacceptable practice or standards become acceptable. As the deviant behaviour is repeated without catastrophic results, it becomes the social norm for the organization.' Konsep penyimpangan dari kutipan buku The Challenger Launch Decision dan membaca berbagai rujukan, membuat saya jadi mengenal Teori Normalisasi Deviasi. Bayangkan NASA sebagai sebuah kapal besar. Setiap orang di dalamnya punya peran masing-masing, dari kapten sampai anak buah kapal. Saat ada masalah kecil, seperti rembesan air, mungkin awalnya dianggap sepele. Tapi, kalau terus dibiarkan dan semua orang menganggapnya biasa saja, rembesan itu bisa jadi makin besar dan akhirnya menenggelamkan kapal. Itulah yang terjadi pada Challenger. Tekanan untuk terus berlayar, mencapai tujuan, dan mendapatkan pujian membuat para kru mengabaikan tanda-tanda bahaya. Mereka membenarkan setiap keputusan yang diambil, meskipun sebenarnya tahu itu berisiko. Akhirnya, kapal Challenger tenggelam. Dalam The Challenger Launch Decision, Vaughan menghubungkan realitas sosial dengan kegagalan yang terjadi pada peluncuran pesawat ulang-alik Challenger. Realitas sosial di sini mengacu pada cara individu dan kelompok dalam organisasi NASA berinteraksi dan membuat keputusan di bawah tekanan, serta bagaimana budaya organisasi dan norma sosial mempengaruhi cara risiko dipersepsikan dan dikelola. Vaughan menunjukkan bahwa realitas sosial di NASA diwarnai oleh budaya kerja yang sangat fokus pada target dan tenggat waktu. Karena tekanan untuk memenuhi jadwal peluncuran, manajer dan insinyur mulai menerima penyimpangan kecil dari standar keselamatan sebagai hal yang normal, meskipun mereka menyadari adanya risiko.Â
Ini adalah bentuk dari normalisasi deviasi, di mana penyimpangan secara perlahan menjadi bagian dari norma sosial dalam organisasi. Jadi, kegagalan Challenger adalah hasil dari interaksi sosial yang membentuk persepsi risiko dan keamanan. Realitas sosial di NASA dipengaruhi oleh struktur hierarki yang kaku. Tekanan dari manajemen untuk melanjutkan peluncuran meskipun ada kekhawatiran teknis membuat para insinyur merasa tidak berdaya dalam menentang keputusan tersebut. Vaughan menggambarkan bagaimana relasi kekuasaan dan tekanan sosial dari atasan membuat keputusan yang buruk sulit untuk diubah. Dalam bukunya, Vaughan menjelaskan bahwa kegagalan tersebut tidak disebabkan oleh satu keputusan yang salah, melainkan oleh serangkaian keputusan yang dibuat dalam konteks sosial yang memengaruhi persepsi tentang risiko. Setiap kali sebuah keputusan menyimpang dari norma keselamatan, para pekerja dan manajer merasionalisasikan keputusan itu berdasarkan realitas sosial mereka---yakni tekanan untuk tetap meluncurkan pesawat ulang-alik dalam waktu yang telah ditentukan.
 Diane Vaughan, seorang ilmuwan sosial lahir di Columbus dan menerima gelar Ph.D. dalam sosiologi pada tahun 1979. Setelah itu, ia mengajar di Boston College sebelum bergabung dengan Columbia University pada 2005. Bicara tentang latar belakang sosial-politik, Vaughan mempengaruhi penelitiannya dalam memahami bagaimana organisasi, teknologi, dan sistem sosial berinteraksi. Pada masa itu, ada peningkatan perhatian terhadap kecelakaan teknologi besar seperti Challenger dan Chernobyl, yang mendorong peneliti seperti Vaughan untuk mengeksplorasi mengapa organisasi-organisasi besar sering gagal mengelola risiko dengan efektif. Dari penelitiannya, kita tahu bahwa organisasi besar, bahkan yang terlihat sangat profesional, kadang-kadang bisa membuat kesalahan fatal. Vaughan membantu kita memahami mengapa hal ini bisa terjadi dan bagaimana kita bisa mencegahnya. Penelitiannya tidak hanya penting untuk dunia teknologi, tapi juga untuk kehidupan kita sehari-hari, baik itu di sekolah, di rumah, maupun disebuah komunitas. Teori normalisasi deviasi yang dikembangkan Diane Vaughan sangat dipengaruhi oleh pandangan Charles Perrow tentang kecelakaan normal. Perrow berargumen bahwa dalam sistem kompleks, interaksi tak terduga antara berbagai komponen dapat memicu kegagalan besar yang sulit dihindari. Bayangkan sebuah pesawat yang jatuh karena baut kecil yang lepas. Itulah yang Charles Perrow sebut 'kecelakaan normal'. Diane Vaughan mengembangkan gagasan ini, menunjukkan bahwa organisasi seringkali tidak menyadari bahaya yang mengintai dari masalah-masalah kecil yang terus diabaikan. Akibatnya, kesalahan kecil ini bisa menjadi bola salju yang akhirnya menghancurkan seluruh sistem.
Melalui kasus Challenger, Vaughan mengingatkan kita bahwa keberhasilan atau kegagalan sebuah organisasi tidak hanya ditentukan oleh faktor teknis, tetapi juga oleh dinamika sosial yang ada di dalamnya. Ketika tekanan untuk mencapai target dan menjaga reputasi lebih diutamakan daripada keselamatan, maka risiko akan dengan mudah diabaikan. Pelajaran dari Challenger sangat relevan hingga saat ini, dan harus menjadi pengingat bagi kita semua tentang pentingnya membangun budaya organisasi yang terbuka, jujur, dan berorientasi pada keselamatan.
Bibliography
Geraghty, T. (2023, November 24). Normalisation of Deviance. Psych Safety. https://psychsafety.co.uk/normalisation-of-deviance/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H