Menelusuri tol lingkar luar Jakarta menuju Tj. Priuk.
Jumat, 20 Juni 2014 saya berangkat dari rumah pukul 05.00. Aldo mengantarku ke BSD dengan sepeda motor. Dalam perjalanan, terpaan udara pagi menusuk tulang-tulangku. Sekitar setengah jam aku tiba di BSD.
Pukul 05.40 bus Angra yang kutunggu pun tiba. Kakiku secepat kilat menaiki bus. Aku menuju deretan bangku yang kosong. Tujuankku agar bisa tidur dan tanpa gangguan penumpang. Maklum bola mataku masih rada perih. Aku merasa kurang tidur. Saat dalam perjalanan, kondektur mengusik tidurku. Ia meminta ongkos. Dan segera tanganku merogoh kantung kiri dan menyerahkan uang Rp 10.000,- Sebelum kondektur bertanya, kudahului menginformasikan bahwa aku turun di Pasar Rebo. “ Bang, saya turun di Pasar Rebo”, ia terdiam dan menerima ongkos yang kuserahkan.
Di Jalan Veteran bus yang kutumpangi berhenti. Biasa. Ada pengecekan dari mandor. Dan pada saat yang bersamaan menurunkan serta menaikkan penumpang. Situasi di dalam bus sunyi. Penumpang banyak yang tidur.
Pada pukul 06.05 aku tiba di Pasar Rebo. Kulangkahkan kakiku menuruni tangga bus. Sesekali pandanganku menyapu sekitar untuk menunggu bus yang akan membawaku ke terminal Tanjung Priuk. Trotoar sepanjang jalan sudah dipenuhi penumpang. Maklum, para penumpang lebih suka menunggu bus di Pasar Rebo dari pada masuk ke Terminal Kampung Rambutan untuk melanjutkan perjalanan ke berbagai kota di luar Jakarta.
Pukul 06.40 bus yang menuju Tanjung Priuk pun datang. Perasaanku lega. Aku segera menaiki bus dan mencari tempat duduk. Untunglah masih ada beberapa bangku yang masih kosong. Sepanjang perjaanan mataku tidak berkedip sedikit pun menyaksikan geliat penduduk Jakarta. Bus dan mobil saling mendahului di jalan tol yang dipenuhi berbagai merek kendaraan. Ibu kota negara ini menjadi ajang pameran produsen kendaraan merek dunia. Setelah dua jam perjalanan, saya akhirnya tiba di terminal Tanjung Priuk. Rasanya, ongkos Rp 10.000,- termasuk murah dengan perjalanan dua jam. He…
Setiba di terminal, aku segera turun. Tukang ojek berlomba-lomba menawarkan jasa. Aku memilih ojek yang masih kinclong. “Bang, ke pelabuhan. Berapa?” tanyaku. “Sepuluh ribu saja”, katanya. “Rp 7.500,- ya?” pintaku. “Ya, sudah. Ayo”. Jarum panjang jamku baru bergerak dalam ¼ putaran tukang ojek telah tiba di pintu masuk pelabuhan. Hatiku terasa lega karena aku tiba di pelabuhan tidak terlambat.
Proaktif mencari tahu informasi
Menggunakan tranportasi kapal bukan yang pertama bagiku. Pengalaman menyeberang Selat Sunda dengan kapal ferry dari Bakauheni – Merak agaknya bisa kujadikan modal informasi awal. Namun aku harus tetap meyakinkan pikiran dan hatiku. Beberapa kali saya harus bertanya kepada petugas. Untuk menambah informasi tentang keberangkatan, saya juga bertanya kepada beberapa penumpang. Untuk mengisi waktu dikala mengalami kejenuhan, saya bertegur sapa dengan calon penumpang yang akan menuju Pulau Batam atau ke Pelabuhan Belawan.
Sekitar pukul 11.00 penumpang dipersilahkan masuk. Tiket yang telah saya beli tiga hari sebelumnya saya keluarkan. Tiket saya tunjukkan kepada penjaga. Dan saya bergegas memasuki ruangan dan mengikuti petunjuk arah. Sekitar menit saya telah berada di dermaga. Wow… Kapal Motor Kelud yang sangat besar.
Perlahan-lahan kunaiki tangga kapal. Tasku yang kecil dengan mudah kusangkutakan di pundak. Mm… harus ekstra hati-hati. Soalnya, penumpang memiliki kecenderungan saling serobot. Tangga kapal yang memiliki kemiringan empat puluh lima derajat potensial berbahaya bila tidak waspada.
Di atas kapal aku menukarkan tiket di boarding pass untuk mendapatkan tempat tidur. Aku berjalan cepat-cepat mencari tempat tidur. Saya mesti bertanya beberapa kali kepada petugas di dalam kapal. “Mas, dek tiga ada di sayap kiri”. Setelah berputar mencari-cari akhirnya saya pun menemukannya. Kurebahkan badanku di tempat tidur. Tempat tidur yang akan menemani diriku selama 24 jam.
Sifat ingin tauku kuturuti. Saya berjalan – jalan untuk mengetahui keberadaan kapal. Tak lama kemudian saya kembali ke tempat tidur. Pembicaraan dengan sesama penumpang di dek saya mulai. Canda dan tawa terdengar di dek. Sesekali tangisan anak mewarnai suasana. Penumpang hilir mudik di sepanjang dek.
Kentalnya prinsip ekonomi di dalam kapal
Petugas kapal menawarkan jasa. “ Mas, kalau tidak mau antri saat mengambil makan, saya bisa bantu. Kalau Mas mau, saya akan antar”, katanya. “ Ya, boleh Pak”, sahutku. “Mas, turun di mana?” sahutnya dengan bersemangat. “Pelabuhan Sekupang, Batam” kataku. “Okelah, pas mau turun besok, kasih uangnya. Sepuluh ribu”, katanya. Dan ia segera pergi menawarkan jasa kepada penumpang yang lain.
Kapal menjadi pasar. Beberapa lama kemudian pedagang berseleweran. Ada penjual dodol garut, kaos, boneka, nasi bungkus dan minuman. Pedagang dan penumpang melakukan transaksi.
Tiba waktu makan siang. “Perhatian. Kepada para penumpang kelas 1, 2, dan 3, kami telah menyediakan makan siang. Silahkan menuju ruang makan. Kenakanlah pakaian yang sopan. Selamat menikmati makan siang”. Beberapa menit kemudia petugas juga menginformasikan agar penumpang di kelas ekonomi segera mengambil makanan. “ Para penumpang kelas ekonomi silahkan mengambil makanan di dapur. Bawalah kupon”, katanya. Saya tidak perlu mengantri makan. Kutunggu pengantar membawakan makan. “Mas, ini makan siangnya”, katanya dengan tergesa-gesa. Ia pergi membawa tumpukan kotak makanan.
Kubuka kotak makan siang. Di dalamnya terdapat seonggok nasi putih, sayur kol sejumput, dan ikan basah seekor. Aku tidak memiliki selera. Aku melihat rekasi Pak Arno teman sebelahku. “Ya, makan saja. Perut tidak boleh kosong”, katanya sambil menikmati sajian makan siangnya. Saya coba mencicipi. Benar-benar tidak menggugah seleraku. Rasanya hambar. “Miskin cita rasa”, ungkapku kepada Pak Arno.
Menu makanan benar-benar sangat sederhana. Menu makanan pagi hanya seonggok nasi putih serta telur dadar. Menurutku sih dadar-dadaran. Kata yang lebih tepat, telor tepung. Perbandingan tepung dan telornya gak sebanding. Menu makan siang dan malam, eh… ternyata hampir sama. Nasi seonggok, sayur kol sejumput, dan ikan yang direbus tak punya rasa. Beberapa penumpang menikmati dengan lahap. Penumpang lain, ada yang membiarkannya.
Kantin menyediakan pilihan makanan. Penumpang yang tidak mau hidangan pagi, siang, atau malam yang disediakan, tidak perlu khawatir. Pedagang menyediakan pilihan makan lain. Setiap orang dapat membeli makanan di kantin atau menunggu pedagang menjajakan makanan. Ini harga-harganya pada waktu itu. Pop mie Rp 10.000,-. Kopi 5.000,- , Roti kecil 2 bks Rp 5.000,- , Jus manga Rp 5.000.
Bersambung…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H