Mohon tunggu...
Jasmin Stg
Jasmin Stg Mohon Tunggu... Administrasi - Anak ke-1 dari delapan bersaudara. Anak dari Manat Stg. Lahir saat peristiwa gejolak politik di Indonesia. Hidup mengikuti perkembangan zaman dan terus belajar sesuai zaman.

Memaknai setiap peristiwa.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Pengalaman Naik KM Kelud Dari Tj.Priuk - Batam

4 April 2015   19:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:32 2146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14281491142081103830

Menelusuri tol lingkar luar Jakarta menuju Tj. Priuk.
Jumat, 20 Juni 2014 saya  berangkat dari rumah  pukul 05.00.  Aldo  mengantarku ke BSD dengan sepeda  motor. Dalam perjalanan, terpaan  udara  pagi menusuk tulang-tulangku. Sekitar  setengah  jam  aku  tiba di BSD.
Pukul 05.40 bus Angra  yang  kutunggu pun tiba. Kakiku secepat kilat  menaiki bus. Aku menuju deretan bangku yang kosong. Tujuankku agar  bisa  tidur dan tanpa  gangguan penumpang. Maklum bola  mataku masih rada  perih. Aku  merasa kurang  tidur. Saat  dalam perjalanan,  kondektur mengusik tidurku. Ia  meminta  ongkos. Dan segera  tanganku  merogoh kantung  kiri  dan   menyerahkan uang  Rp 10.000,-  Sebelum kondektur bertanya, kudahului menginformasikan bahwa  aku  turun di Pasar Rebo. “ Bang, saya  turun di Pasar Rebo”, ia terdiam dan menerima ongkos  yang  kuserahkan.
Di Jalan  Veteran  bus yang kutumpangi berhenti. Biasa. Ada  pengecekan dari mandor. Dan pada saat  yang bersamaan menurunkan serta  menaikkan  penumpang. Situasi  di dalam  bus  sunyi. Penumpang  banyak  yang  tidur.
Pada  pukul  06.05  aku tiba  di Pasar Rebo. Kulangkahkan  kakiku menuruni  tangga  bus. Sesekali  pandanganku   menyapu sekitar untuk menunggu  bus yang akan  membawaku  ke terminal Tanjung Priuk. Trotoar sepanjang jalan sudah  dipenuhi penumpang. Maklum, para  penumpang  lebih suka  menunggu bus di Pasar Rebo  dari pada masuk  ke Terminal Kampung Rambutan  untuk  melanjutkan  perjalanan ke berbagai  kota  di  luar Jakarta.
Pukul  06.40  bus  yang menuju Tanjung Priuk pun  datang. Perasaanku  lega. Aku  segera  menaiki bus dan mencari  tempat  duduk. Untunglah masih  ada beberapa  bangku yang masih  kosong. Sepanjang  perjaanan mataku tidak  berkedip sedikit pun menyaksikan  geliat penduduk  Jakarta. Bus  dan  mobil  saling mendahului di jalan  tol  yang dipenuhi berbagai merek kendaraan. Ibu kota negara ini menjadi  ajang pameran produsen kendaraan  merek dunia. Setelah  dua  jam  perjalanan, saya akhirnya   tiba di terminal  Tanjung Priuk. Rasanya, ongkos  Rp 10.000,-  termasuk murah dengan  perjalanan  dua  jam. He…
Setiba di terminal, aku segera  turun. Tukang  ojek berlomba-lomba  menawarkan jasa. Aku  memilih  ojek  yang masih kinclong. “Bang, ke pelabuhan. Berapa?” tanyaku. “Sepuluh  ribu saja”, katanya. “Rp 7.500,- ya?” pintaku. “Ya, sudah. Ayo”. Jarum panjang jamku  baru  bergerak  dalam ¼  putaran  tukang ojek telah  tiba  di pintu masuk pelabuhan. Hatiku  terasa  lega karena  aku  tiba  di pelabuhan tidak  terlambat.

Proaktif  mencari tahu  informasi
Menggunakan   tranportasi kapal bukan yang  pertama  bagiku. Pengalaman  menyeberang Selat Sunda dengan  kapal ferry dari Bakauheni – Merak  agaknya  bisa  kujadikan  modal  informasi  awal.  Namun  aku  harus   tetap  meyakinkan  pikiran  dan  hatiku. Beberapa  kali  saya  harus  bertanya  kepada  petugas. Untuk  menambah  informasi  tentang  keberangkatan, saya  juga  bertanya  kepada  beberapa  penumpang.  Untuk mengisi waktu  dikala mengalami  kejenuhan, saya bertegur sapa  dengan  calon  penumpang   yang akan  menuju Pulau Batam  atau ke Pelabuhan  Belawan.
Sekitar  pukul 11.00  penumpang   dipersilahkan  masuk. Tiket yang telah  saya  beli tiga hari sebelumnya  saya  keluarkan. Tiket saya  tunjukkan  kepada penjaga. Dan saya  bergegas memasuki ruangan dan mengikuti petunjuk  arah. Sekitar  menit  saya  telah  berada  di dermaga.   Wow… Kapal Motor Kelud  yang sangat  besar.

Perlahan-lahan  kunaiki  tangga  kapal. Tasku  yang  kecil dengan  mudah kusangkutakan  di pundak. Mm… harus  ekstra  hati-hati. Soalnya, penumpang  memiliki  kecenderungan  saling  serobot. Tangga kapal  yang  memiliki  kemiringan  empat  puluh  lima  derajat  potensial   berbahaya bila tidak waspada.
Di atas  kapal aku menukarkan  tiket di boarding pass untuk mendapatkan  tempat  tidur. Aku berjalan   cepat-cepat  mencari  tempat  tidur. Saya  mesti  bertanya  beberapa  kali  kepada petugas di dalam  kapal. “Mas, dek  tiga  ada di sayap  kiri”. Setelah   berputar mencari-cari akhirnya  saya  pun  menemukannya. Kurebahkan  badanku di tempat  tidur. Tempat  tidur  yang akan menemani diriku  selama  24  jam.
Sifat ingin tauku kuturuti. Saya berjalan – jalan  untuk mengetahui keberadaan  kapal. Tak  lama  kemudian  saya kembali  ke tempat  tidur. Pembicaraan  dengan sesama  penumpang di dek saya  mulai. Canda  dan  tawa terdengar  di dek. Sesekali  tangisan  anak mewarnai suasana. Penumpang  hilir mudik di sepanjang  dek.

Kentalnya  prinsip  ekonomi di dalam  kapal

Petugas  kapal menawarkan  jasa. “ Mas, kalau  tidak  mau  antri saat mengambil makan, saya bisa  bantu. Kalau  Mas mau, saya  akan  antar”, katanya. “ Ya, boleh Pak”, sahutku. “Mas, turun di mana?” sahutnya   dengan  bersemangat. “Pelabuhan Sekupang, Batam” kataku.  “Okelah, pas mau  turun besok, kasih uangnya. Sepuluh ribu”, katanya. Dan ia  segera pergi menawarkan  jasa kepada  penumpang  yang lain.
Kapal  menjadi  pasar.  Beberapa  lama  kemudian pedagang  berseleweran. Ada penjual  dodol  garut, kaos, boneka, nasi bungkus   dan  minuman.    Pedagang  dan penumpang    melakukan  transaksi.
Tiba  waktu  makan  siang.  “Perhatian. Kepada para penumpang kelas 1, 2, dan 3,  kami  telah  menyediakan makan  siang. Silahkan  menuju  ruang makan. Kenakanlah  pakaian  yang sopan. Selamat menikmati makan  siang”. Beberapa  menit kemudia petugas juga  menginformasikan  agar  penumpang di kelas  ekonomi  segera  mengambil makanan. “ Para penumpang  kelas  ekonomi silahkan   mengambil  makanan  di  dapur. Bawalah    kupon”, katanya.  Saya  tidak perlu  mengantri makan. Kutunggu pengantar  membawakan  makan. “Mas, ini makan  siangnya”, katanya  dengan  tergesa-gesa.  Ia   pergi  membawa  tumpukan  kotak makanan.
Kubuka kotak  makan siang. Di dalamnya  terdapat  seonggok  nasi putih, sayur kol sejumput, dan ikan basah seekor. Aku  tidak  memiliki  selera. Aku  melihat rekasi  Pak Arno teman sebelahku. “Ya, makan saja. Perut  tidak  boleh  kosong”, katanya sambil menikmati sajian makan  siangnya. Saya coba  mencicipi. Benar-benar  tidak menggugah seleraku. Rasanya  hambar. “Miskin  cita  rasa”, ungkapku kepada  Pak Arno.
Menu makanan  benar-benar  sangat  sederhana. Menu makanan  pagi  hanya  seonggok  nasi  putih serta  telur dadar. Menurutku  sih  dadar-dadaran.  Kata  yang  lebih  tepat, telor tepung. Perbandingan  tepung dan telornya  gak sebanding. Menu makan  siang dan  malam, eh…  ternyata  hampir sama. Nasi seonggok, sayur kol sejumput, dan ikan yang direbus tak punya  rasa.  Beberapa  penumpang  menikmati  dengan  lahap.   Penumpang  lain, ada  yang  membiarkannya.

Kantin menyediakan  pilihan makanan. Penumpang  yang tidak  mau hidangan  pagi, siang, atau  malam  yang disediakan,   tidak perlu khawatir.  Pedagang   menyediakan  pilihan  makan lain.  Setiap orang  dapat membeli makanan  di  kantin  atau menunggu pedagang menjajakan  makanan. Ini  harga-harganya pada waktu  itu. Pop mie Rp 10.000,-. Kopi  5.000,- ,  Roti  kecil  2 bks   Rp 5.000,- , Jus  manga Rp 5.000.
Bersambung…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun