"Pena lebih tajam daripada pedang."
Demikian kata Voltaire saat pujangga besar Perancis itu mengkritisi sistem kerajaan di negaranya karena mendambakan sistem demokrasi parlementer seperti yang dilakukan oleh Inggris.
Karyanya pun menginspirasi pergerakan-pergerakan lanjutan di Prancis. Pada tahun 1789, Prancis akhirnya menjadi republik, 11 tahun setelah kematiannya.
Begitu juga dengan Multatuli alias Eduard Douwes Dekker saat mengkritisi praktik kolonial Belanda melalui bukunya berjudul 'Max Havelaar' yang pada saat itu dijadikan bacaan wajib pada sastra Indonesia.
Pada akhirnya, tulisannya menginspirasi para politisi Belanda untuk menggulirkan politik etis, yaitu politik 'balas jasa' terhadap Indonesia, atas penjajahan yang mereka lakukan selama ini.
Banyak lagi kisah perlawanan dari dunia tulis-menulis yang akhirnya dapat menguubah dunia, negara, kelompok manusia, menggaungkan pergerakan, dan lainnya.
Para penulis tersohor itu tidak melakukan aktivitas penulisan dengan harapan akan terkenal dan mendapat uang yang banyak. Mereka melakukannya karena kesadaran terhadap keresahan yang dirasakan dan menggunakan ragam media bantu untuk menyampaikan pesan.
Bagaimana dengan kesadaran literasi itu sendiri di Indonesia?
Sebenarnya, di era sekarang, tidak sedikit rekan-rekan di luar sana yang gemar menulis, walau hanya sekedar berbagi status di media sosial, berpuisi manja di caption foto Instagram dengan kata-kata bijak nan romantis, hingga berkicau di Twitter hingga larut malam membahas arah politik Indonesia.
Kehadiran media sosial dan semua kemudahan yang bersifat digital nan praktis, justru membuat kesadaran literasi Indonesia semakin rendah.Â