Mohon tunggu...
Amal Alghozali
Amal Alghozali Mohon Tunggu... -

Seorang pengusaha dan pelatih bisnis. Peraih penghargaan Outstanding Asia Pacific Entrepreneurship Award 2009 yang menggeluti bisnis pupuk organik cair berbasis bioteknologi ramah lingkungan dengan merk Agrobost ini, selain aktif memberikan pelatihan bisnis dan pemasaran, juga memiliki minat tinggi serta pengalaman praktis sebagai seorang konsultan komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Money

Merenungi Nasib Petani: Kenaikan Harga Pupuk Vs Markus

12 April 2010   15:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:50 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Artikel ini saya tulis sambil menjawab telepon dan sms dari teman-teman saya, para petani dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka pda umumnya menanyakan kebenaran informasi tentang kenaikan harga eceran pupuk kimia bersubsidi, sehari sebelum berlaku mulai  tanggal 9 April 2010. Meskipun  sudah mendapat pengumuman dan edaran resmi, mereka merasa masih harus mencari informasi lengkap dari “pusat”.

Merenungi Nasib Petani

“Ketua,…harga pupuk sudah resmi naik kah? Apalagi yang harus kami lakukan sekarang? Harga jual kakao kami hancur karena pajak ekspor. Produksi terus merosot karena tanaman diserang penyakit. Dan sekarang harga pupuk naik”, demikian, salah seorang petani yang juga teman seperjuangan kami Herman Agan, dari Palu Sulawesi Tengah. Teman-teman petani saya di berbagai daerah sering memanggil saya dengan “ketua”, karena sejak dua tahun lalu saya dipercaya memimpin organisasi Persaudaraan Masyarakat Tani (PERMATA) Indonesia. Ya, harga pupuk kimia resmi naik. Ini bukanlah berita besar dan bukan berita menarik bagi media massa. Bagi teman-teman wartawan, pekan ini hot news mereka adalah markus, alias makelar kasus perpajakan yang melibatkan aparat pajak, oknum polisi dan jaksa. Dan hari ini terungkap lagi, sebuah stasiun tv swasta juga terlibat merekayasa markus, demi meningkatkan rating. Demikian juga bagi para politisi wakil rakyat kita di DPR Senayan, berita kenaikan harga pupuk tidak perlu dibahas. Mereka lebih tertarik dan asyik membahas hal-hal yang menyenangkan syahwat politik dan kekuasaan. Bagi pemerintah, menjaga citra juga menjadi lebih penting dibandingkan menghitung ulang beban yang harus dipikul petani akibat berbagai kebijakan. Tetapi, tahukah anda, bagi puluhan juta rakyat Indonesia,  khususnya mereka yang tinggal di desa, alias masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian dan perkebunan, kabar tentang kenaikan harga pupuk adalah berita penting dan langsung berkaitan dengan kehidupan mereka. Untuk diketahui, hampir 65 persen penduduk Indonesia menggantungkan kehidupan di sektor ini. Dan ini juga berarti, pemilih mayoritas dalam setiap pemilu, adalah kelompok mayoritas ini. Mentri pertanian Suswono mengumumkan kenaikan harga eceran berbagai jenis pupuk kimia antara 33 % sampai 45 %. Kenaikan harga ini sebagai konsekwensi dari pengurangan anggaran subsidi pupuk dalam APBN tahun ini. Tahun lalu, subsidi pupuk mencapai 17 trilyun rupiah, sedangkan tahun ini dikurangi menjadi 11 trilyun. Menurut Pak Mentri, kenaikan harga pupuk ini tidak membebani petani, sebab pemerintah sudah lebih dahulu menetapkan kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras. Sebenarnya ini adalah pernyataan aneh dan ajaib. Tetapi juga saya anggap pernyataan wajar, karena Pak Mentri tidak merasakan bagaimana menjadi petani. Pak mentri adalah politisi. Sepertinya pemerintah tidak mau melihat kenyataan di lapangan, bahwa petani sering tidak bisa menentukan harga jual panennya, dan selalu menghadapi tekanan harga dari para pedagang dan tengkulak. Pupuk, bagi petani adalah segalanya. Kita masih ingat, ketika pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), hampir tidak ada petani yang melakukan unjuk rasa. Tetapi ketika pupuk langka di pasaran, ketika pasokan pupuk tersendat, petani pasti marah. Mengapa? Meskipun dalam biaya produksi pertanian kontribusinya hanya berkisar 11 persen, tetapi pengaruhnya kepada hasil produksi mencapai 55 persen. Jika pupuk langka, dan mahal, maka dipastikan produksi pertanian bakal merosot. Sebenarnya petani kita sudah sejak lama merasakan bahwa harga pupuk bakal naik. Tetapi petani tidak memiliki akses untuk bisa berdiskusi apalagi melakukan negosiasi dengan pemerintah mengenai harga pupuk maupun harga panen. Berbeda dengan buruh. Setiap tahun melalui lembaga tri partit, buruh berhak ikut berdiskusi menentukan kenaikan upah minimum regional. Sedangkan petani tidak pernah bisa menentukan harga jual hasil produksinya. Semoga ini menjadi perenungan kita bersama, sambil tetap menyoroti markus yang banyak berkeliaran. Salam, Amal Alghozali

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun