Mohon tunggu...
Nawawi
Nawawi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Undip

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sekolah?

24 Januari 2012   17:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:29 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekolah adalah tempat dimana seorang yang di sebut murid menimba ilmu kepada seorang guru. Membaca, menulis dan mempraktekan hasil kerja adalah suatu keharusan di lingkungan sekolah. Sekolah di Indonesia dulunya adalah sebuah padepokan, dimana murid-murid berguru mendapatkan ilmu bela diri dan pelajaran hidup. Lambat laun perkembangan itu kian pesat, ditambah dengan pola dagang hemistrics yang terjadi di kawasan Asean.

Saudagar-saudagar China dan Arab sedikit demi sedikit berdatangan dan mencoba berebut pengaruh. Ternyata bukan pengaruh dagang saja yang mereka bawa tetapi juga agama. Mungkin yang tersisa dari semua itu adalah yang kita kenal saat ini dengan Pondok Pesantren. Pondok Pesantren berasal dari bahasa Arab yaitu Funduk atau dalam bahasa Yunani dikenal dengan istilah Fundukayen yang artinya penginapan/padepokan.

Alasan terlalu konservatif dan kurang mampu bersaing membuat mau tidak mau di lakukan perubahan. Pondok Pesantren pun kian kehilangan pamornya karena tak kunjung mencetak cendekiawan ulung. Sementara bangsa penjajah saat itu membawa konsep pendidikan yang lebih matang. Konsep pendidikan modern yang mereka usahakan dari tahun 1848 salah satunya adalah Inlandsche School.

Tetapi proses belajar dengan ilmu modern yang mereka bawa bukanlah murni di peruntukan bagi seluruh warga pribumi. Mereka hanya memperbolehkan golongan bangsawan saja yang dapat menempuh pendidikan tinggi sisanya hanya sampai kelas lima. Dan saat itu tujuan mereka memberikan sekolah bagi bumiputera(sebutan bagi pelajar pribumi) adalah untuk menghasilkan pegawai administrasi Belanda yang terampil, murah dan terdidik.

Fungsi dan tata cara belajar sekolah yang di bawa Belanda ternyata masih melekat hingga abad milenium. Sekolah ternyata tidak lebih hanyalah pencetak pegawai sejati yang murah dan terdidik. Tren pendidikan modern yang gagal malah tidak lebih baik dari sistem padepokan yang justru menciptakan petarung unggul. Keresahan ini ternyata telah di rasakan oleh Che Guevara.

Che Guevara adalah pejuang Kuba yang lahir di Rosario, Argentina pada tanggal 14 Juni 1928. Dalam suratnya kepada kawan muda, dia berkata "Kau berhadapan dengan dunia pendidikan yang menghasilkan ilmu tentang bagaimana jadi budak yang baik". Seorang pemimpin revolusioner nampaknya tidak sedang bergurau, karena apa yang diucapkanya terjadi saat ini.

Dari beberapa mahasiswa dan kawan-kawan SMA serta anak-anak SMP hingga SD yang ku tanyakan tentang harapanya pada sekolah, sebagian besar menjawab bekerja di perusahaan terkenal atau institusi pemerintah. Jika mau di persentasi, rasanya itu lebih dari 80% dan hanya sedikit yang berani menjawab berwirausaha, menjadi guru atau bekerja secara independen.

Keresahan itu ternyata dirasakan pula oleh Andrias Harefa. Mahasiswa drop out UGM yang akhirnya sukses dengan Indonesian School of Life nya. Lewat bukunya yang berjudul "Sekolah Saja Tidak Cukup" dia banyak bercerita tentang kesuksesan di luar sekolah. Dia pun berkata " apakah ruginya negeri ini jika semua sekolah dan universitas, sebagaimana kita kenal ini, di bubarkan saja.."

Andrias Harefa adalah peminat konsep-konsep unschooling, deschooling, homeschooling, individual learning, team learning, corporate learning dan community-based education. Dia berpendapat bahwa persekolahan formal tidak pernah cukup. Kata tidak pernah cukup bukan berarti tidak penting melainkan penting tetapi kurang lengkap.

Faktanya memang pendidikan kita belum mampu untuk mengajarkan seseorang menjadi pemimpin. Mereka lebih menuntun kita untuk kelak menjadi pegawai, meskipun saya setuju dengan ungkapan "hidup adalah pilihan".

Sekolah seharusnya mampu menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan eksistensial. Pertanyaan eksistensial seperti "Siapa aku sebenarnya?", "Darimana sebenarnya diriku?", "Kenapa aku dilahirkan?", "Kemana tujuanku" dan "Siapa yang harus kupercaya?". Bukan malah memberi pertanyaan baru dengan memberikan nilai E karena duduk di bangku paling belakang !!

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun