Teringat kembali, ketika  masih remaja dulu menjelang akhir Agustus 1947, mengunjungi ayah saya yang dijaman pengungsian itu  bekerja dikantor administrasi persenjataan TNI-AD-Divisi-7 Jawa Timur (kini Kodam X/Brawijaya) wilayah Ponorogo, Jatim.Â
Sewaktu itu 'wilayah pedalaman' RI dikepung kekuatan militer Belanda-NICA (Netherlands Indies Civil Administration) dalam Perang Kemerdekaan I, sehingga untuk mencapai kota yang terletak lk.30 km selatan kota Madiun atau 200 km baratdaya Surabaya itu, harus naik kereta api uap.
Disitulah saya mendapat cerita, ketika memperingati HUT Kemerdekaan RI (17/8/1947) dialun-alun depan Pendopo Kabupaten itu dipenuhi puluhan pasangan Reog-Ponorogo yang bersemangat menggambarkan semangat perjuangan untuk kemerdekaan RI. Maklum, sewaktu era pendudukan balatentara Jepang (1941-45), masih tersisa puluhan kelompok tari Reog-Ponorogo.Â
Sebab, banyak sekali para lelaki dewasa,-- terutama dari pedesaan,-- diambil tentara Jepang untuk dijadikan tenagakerja paksa Romusha dan diangkut ke negara-negara antaralain Malaya, Birma, Siam (Thailand) dan lain-lain. Ketika Perang Dunia II (Perang Pasifik) usai dan Jepang kalah perang, ratusan romusha meninggal dan sisanya terbanyak  tinggal dinegara-negara tempat mereka dipekerjakan. Mereka membuat komunitas Jawa gaya Ponorogo berikut seni budayanya.
Pada Agustus 1980-an, ketika meliput acara HUT Kemerdekaan RI, partai politik Golkar mau besar-besaran sekaligus berpromosi dengan mengumpulkan 100 kelompok Reog-Ponorogo dialun-alun kabupaten yang sudah diperlebar. Diseluruh negara kita, apalagi diluarnegeri, tidak akan pernah diadakan acara seperti itu.Â
Meskipun pihak Polisi dan TNI harus berjaga-jaga, jangan sampai muncul lagi sifat-sifat  persaingan antar kelompok. Terutama dari para "Warok" masing-masing yang mau unjuk 'kesaktian', sehingga sering bertanding bersenjatakan tali-kolor celana terbuat dari untaian benang putih dipilin sebesar genggaman tangan.
Kisah-kisah diatas sekedar menggambarkan rangkaian asalmula keberadaan Reog-Ponorogo. Sebagaimana senitari Jawa tradisional, selalu ada kisah asalmulanya maupun falsafahnya. Â
Demikianlah Reog Ponorogo berasal dari sejarah kekuasaan Kerajaan Mataram, kerajaan terbesar berkedudukan di Surakarta, Solo (sekarang) yang didirikan Ki Ageng Pemanahan (1578). Ketika wafat 1584, digantikan puteranya, Senapati Ing Alaga (dulunya disebut Ngabehi Loring Pasar).Â
Pada masa pemerintahannya Mataram memperluas wilayahnya ke pesisir utara, ke timur dan barat. Ditimur dikuasainya Madiun (1590) dan Surabaya. Dibarat hingga Priangan Timur dan memaksa kerajaan Cirebon bersahabat.