Penetapan Pilkada Serentak pada November 2020 semula memang bisa diterima. Terutama oleh partai-partai politik yang berkepentingan dalam pemilu kepala daerah itu. Bisa praktis, tidak bertele-tele karena waktunya bersamaan, sekaligus dianggap "bisa hemat" anggaran.
Tetapi ternyata pandemi covid-19 muncul dan dari hari kehari tidak mereda. Malah menghebat. Parpol-parpol sponsor para jagonya untuk menjadi kepala daerah, menjadi kikuk dan serba terkendala  dalam pengadaan dana, ruang dan waktu mengkampanyekan para calonnya.
Tidak seorangpun mampu menjamin virus itu menghilang pada November mendatang. Malahan diprediksi menghebat.  Sekarang saja seperti contohnya di Jawa Timur, provinsi kedua setelah DKI Jaya dalam jumlah penderita dan kematian oleh  covid-19,  sudah mencapai 7.720 orang (nasional 10.218) alias "baru" 113 yang meninggal seharinya.
Apa kaitannya dengan Pilkada 2020? Kerumunan orang yang bakal jelas mengabaikan prokes (protokol kesehatan), terjadinya hubungan antar-manusia berantai, merupakan hal yang pasti terjadi ditiap lokasi pilkada. Â
Dimulai dari pendaftaran calon pada awal September lalu sudah tercatat 243 Bapaslon (Bakal Pasangan Calon) sewaktu mendaftar ke KPU dengan membawa pendukung dalam jumlah dan tindakan melanggar prokes.Â
Hebatnya, sudah 37 bapaslon mengundurkan diri tertular covid-19. Demikian pula masih terjadi pengumpulan massa pendukungnya ketika acara pengumuman nomor urut Pilkada masing-masingnya.Â
Meskipun diwajibkan berkampanye dengan cara viral, jelas dianggap tidak efektif karena berbagai hal kemampuan dan teknologinya. Belum lagi kampanye model demikian lebih banyak makan biaya, alias politik-uang.
Tidak salah banyak warga yang berhimpun mengusulkan agar Pilkada ditunda waktunya. Dua organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiah mengusulkan hal yang sama. Malahan Muhammadiah seolah 'mengancam' Presiden Jokowi, akan menuntutnya bila dari Pilkada itu nanti jumlah penderita covid-19 meningkat.
Saya mengambil contoh kecil pelaksanaan Pilkada dan ancaman coivd-19 di provinsi Jawa Timur saja. Terdapat sekitar 420 lokasi pelaksanaan kampanye selama 70 hari. Padahal sekarang saja 110.250 orang pasien tertular.Â
Tidak salah, kalau Dr.dr. Windhu Purnomo (Epidomologi Fak. Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya) sangat mengkawatirkan perluasan penularan covid-19. Padahal Jatim pada pertengahan September sudah sudah mencatat  7.717 orang meninggal akibat virus itu.Â