Saya pun memanggilnya "Mas Jakob" sampai dengan menjelang akhir hayat beliau disaat kami tidak pernah berjumpa lagi sejak tahun 2005-an, ketika usia kami sama-sama uzurnya, yang kelahiran 1931.Â
Saya mengagumi pemikiran humanisme dan kecerdasannya. Ketika di awal-awal Kompas memasuki pasar media massa berbarengan dengan koran Sinar Harapan dimana saya selaku wartawan dan kepala perwakilannya untuk Jawa Timur, ialah suara santar dari kelompok orang menuduh istilah Kompas adalah singkatan dari "Komando Pastur".Â
Mas Jakob tidak langsung mengeluarkan bantahan, bahwa korannya adalah 'koran umum'. Pertama-tama meniadakan rubrik seperti "Renungan Rohani" yang disiarkan setiap hari Sabtu, yang biasanya ditulis oleh rohaniawan Katolik.Â
Demikian juga Sinar Harapan menghapus rubrik yang sama yang biasanya ditulis oleh rohaniawan Kristen-Protestan. Kemudian mas Jakob merekrut beberapa wartawan muda dari yang beragama Islam.Â
Malahan beberapa dikirimkan untuk naik haji. Akhirnya suara sumbang itu hilang dan Kompas melejit. Terutama ketika Sinar Harapan dibredel oleh Presiden Soeharto tahun 1988.
Dasar kecerdasan dan filsafat humanismenya selaku wartawan selalu tercermin dalam ceramah-ceramahnya kepada para wartawan junior dalam KLW-PWI yang menghadirkannya. Juga dalam forum-forum seperti itu.Â
Penekanan tentang etika jurnalistik selalu dikedepankannya. Suatu hari saya bertanya kepadanya, apa kiatnya di era media viral mengisi udara informasi masyarakat kita kini. Jawabnya, menjadikan isi Kompas lebih kepada artikel-artikel yang punya aktualitas dan berbobot.
Yang jelas, prestasi mas Jakob Oetama tidak bisa disangsikan. Dari penerbitan Kompas itulah kemudian dikembangkan badan usaha Gramedia yang melingkupi segala aktivitas bisnis persuratkabaran, perbukuan, cetak-mencetak, pertokoan, dan lain-lain.Â
Demikian pula peran sertanya dalam perkembangan negara ini, terutama yang bersifat kemanusiaan. Â Jadi, kalaulah penghormatan besar diberikan kepadanya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata dan komandan-upacara pemakaman adalah mantan Wapres, H. Jusuf Kalla, hal itu adalah wajar demi menghormati jasa dan prestasinya. (Amak Syariffudin)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H