Mohon tunggu...
Aprillia Amail
Aprillia Amail Mohon Tunggu... -

Alhamdulillah,,, Saya berterimakasih pada Allah SWT yang telah memberi bakat seni dalam darah saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Merah dan Biru

7 Agustus 2013   21:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:31 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namanya Giananda Pratama. Mahasiswa Fakultas hukum yang selalu menampakkan kesan parlente dan borjuis. Suka sekali dengan warna merah dan barang-barang branded. Jika aku enggan memikirkan penampilan, maka ia sebaliknya. Dia selalu memperhatikan penampilan dari ujung kaki hingga ujung kepala, terutama rambut. Perfeksionis. Gian lelaki yang cerdas, supel, berprestasi, jago nglobi, jangkung, tampan, dan... konglomerat. Itulah kenapa banyak wanita yang berusaha beredar mengitarinya. Jujur, awalnya aku sangat tak suka melihatnya dari segi penampilan. Kehadirannya sebagai mahasiswa baru kala itu membuatku keki. Gayanya itu loh, boyband banget, metroseksual. Apalagi rambutnya yang sebentar-sebentar ganti gaya. Benar-benar jauh dari kriteria seorang Ara.

Tapi kenyataannya Tuhan berkata lain, beberapa poin darinya yang tak masuk dalam dafar kriteria cowok idamanku, ujung-ujungnya malah malah menjadi milikku. Dasar cinta! Cinta benar-benar tak memandang kriteria! Melalui event itu, aku menjadi tahu sisi lain darinya. Dia sangat baik, pekerja keras, memiliki jiwa sosial yang tinggi. Semangatnya menunjukkan bahwa dia tak pernah setengah-setengah untuk menggapai target kehidupannya. Dengan sangat mudah, ia bisa mengikuti langkah-langkahku yang sebelumnya tak ia pijak. Meski awalnya ia merasa sedikit risih, tapi aku bisa melihat gurat-gurat bahagia yang tersirat saat ia kuajak ke pasar, makan di warung tenda pinggir jalan, naik sepeda ke kampus, naik angkot, dan lain sebagainya. Dia fleksibel, dia selalu mengerti aku, dia berbeda, dan aku suka.

Sayangnya, aku tak bisa dengan mudah menyejajarkan langkahku untuk menapaki pijakannya. Kehidupannya begitu tinggi dari apa yang aku miliki. Orang-orang yang berada disekitarnyapun jarang yang berstatus seperti aku. Mereka semua glamoris. Sama-sama dari kalangan atas seperti Gian. Aku bagaikan liliput yang hanya bisa diam berada ditengah pergaulan itu. Bertemu dengan mewah, pesta, jas, gaun, barang-barang bermerk, obrolan berat, hal yang sama sekali tak kupikir , nyatanya bakal kujalani. Dia enjoy saat kuajak naik sepeda, sedangkan aku kurang enjoy duduk bersama dalam mobil mewahnya. Dia selalu mengiyakan permintaanku untuk makan di warung tenda, sementara aku sering mengelak permintaannya untuk menikmati hidangan-hidangan mahal di restoran. Parahnya ia tetap membelikanku beberapa gaun biru mahal walaupun ia tahu aku tak akan suka mengenakannya. Aku tahu dia tulus. Sangat tulus. Tapi aku merasa belum berhak mendapatkan seluruh keloyalan yang ia beri secara cuma-cuma.

Sebagai mahasiswa berprestasi yang populer, dia sangat sibuk. Keaktifannya di organisasi, serta padatnya jadwal perlombaan yang ia ikuti, tak membuatnya mengabaikanku. Dia selalu meyisihkan waktu untuk menemuiku , menelponku, menanyakan keadaanku. Ironisnya, aku jarang ada kesempatan meresponnya, itulah yang membuatku sering merasa bersalah dan tak pantas bersanding dengannya.

Pesta adalah saat-saat tak menyenangkan dimana dia berkumpul dengan kawanan model-model , dan dimana aku hanya dipandang sebelah mata oleh teman-teman Gian. Belum lagi ulah-ulah teman wanitanya yang keganjenan mendekati Gian tanpa memikirkan perasaanku yang berdiri disampingnya. Mereka memang tak menghinaku secara terang-terangan, tetapi mereka menyalahkan Gian karena telah kepincut sama cewek berkasta menengah dan bermuka pas-pasan macam aku. Meskipun Gian tak peduli akan kicauan-kicauan itu, dan memilih berjalan pede disampingku, tetap saja aku merasa bersalah padanya. Akulah penganjlok reputasi Gian didepan teman-teman glamornya. Akulah penyebab Gian sering dipermalukan. Aku,aku,aku. Apakah aku masih pantas disandingkan dengannya? Kurasa tidak. He’s flawless , dan dia pantas mendapatkan yang lebih baik.

Sengaja kuhindari dirinya. Sengaja tak kudatangi perayaannya setelah sukses menjadi duta pariswita nasional. Sengaja aku pergi dari kehidupannya. Toh, sebentar lagi aku akan diwisuda dan segera angkat kaki dari kota ini..

“Maafkan aku, Gian”

Kupencet tombol non-aktif. Nada dering ponsel yang tak henti-hentinya mengganggu telingaku, seketika hilang. Nama “G” yang tertera di layar monitor lenyap.

*****

Kemudian jarak, waktu dan keadaan memisahkan mereka. Entah untuk sementara atau selamanya. Namun Tuhan yang telah meniupkan benih-benih kasih dihati mereka sangat tahu bahwa kedua insan itu masih saling menyayangi , merindukan, dan menanti kehadiran satu sama lain. Tuhan juga tahu bila mereka memiliki keyakinan kuat “kalau jodoh, pasti bertemu”. Tuhan Yang Maha Segalanya telah memiliki rencana tersendiri bagi mereka.

“Ara”

“Gian”

Merah dan Biru, mungkinkah hal itu kemudian bersatu padu menjadi ungu?

_end_

cerita ini bisa anda baca di : http://apingping.blogspot.com/?view=magazine.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun