Saya sering mendengar kalimat ini : „menjadi orang tua itu tidak mudah, tetapi tidak ada sekolah khusus menjadi orangtua ( khususnya ibu ) !“ . Memang benar kan? Namun sekarang, khususnya di kota-kota besar semakin marak seminar dan pelatihan parenting. Sebuah fenomena yang cukup menggembirakan.
Jika berbicara tentang tugas orangtua dalam masalah pemenuhan kebutuhan fisik anak, rata-rata orangtua mempunyai ketrampilan untuk memenuhinya. Penyedia layanan kebutuhan fisik anak pun sangat berkembang pesat. Ketika kita memasuki sebuah mall saja, kita bisa melihat berbagai toko pakaian anak, toko makanan, toko mainan anak, berbagai permainan, semacam T**Z** dsb. Bagaimana dengan kebutuhan non fisik anak-anak kita ? Yaitu kasih sayang, perhatian, motivasi, penanaman nilai-nilai agama, pembentukan karakter, pembangunan kepercayaan diri dsb. Seberapa terampilkah kita meng handle anak-anak kita? Darimana kita memperoleh “materi” pemenuhan kebutuhan non fisik anak-anak kita ? Biasanya ( tidak semua) , dalam beberapa hal kita meniru gaya pengasuhan orangtua kita. Secara tidak sadar gaya pengasuhan orangtua kita tertransfer pada kita. Salahkah? Tentu tidak, sepanjang positif. Mari kita kembali ke pemandangan di sebuah mal, adakah layanan untuk membantu orangtua dalam rangka pemenuhan kebutuhan non fisik anak- anak ? Misalnya sebuah counter „curhat pengasuhan gratis“ bagi orangtua yang mempunyai kesulitan dalam pengasuhan anaknya. Gilakah pemikiran saya? Gila atau tidak , saya tidak peduli, yang jelas saya masih tetap meyakini pendapat Einstein, dengan imaginasi kita bisa beranjak dari A ke tak terhingga.
Kembali ke pokok pembahasan. Masing-masing keluarga punya gaya pengasuhan. Dilatarbelakangi berbagai factor; keyakinan, kultur, pendidikan,, ekonomi, demografi, psikologi dsb. Saya tidak akan membicarakan keanekaragaman tersebut. Jalurnya terlalu rumit. Saya mencoba mengajak pembaca melewati jalur yang paling mudah dan nyata dapat dilihat, yaitu dengan mencermati kondisi bangsa kita.
Menurut Anda, bagaimanakah gaya pengasuhan orangtua di negara kita pada umumnya?
Kita sebagai individu secara nasab, secara psikologis maupun biologis mempunyai orangtua. Kita sebagai warga negara, sebagai rakyat juga punya orangtua bukan ? Siapa? Bagaimana gaya orangtua kita ( kita sebagai rakyat) mengasuh kita ?. Sudahlah, lebih kita renungkan, sebuah sistem, katakanlah negara terbentuk dari apa? Sekelompok individu ( SDM ) dengan tugas,fungsi dan perannya masing-masing bukan ? Salah satu elemen penting dalam sebuah sistem yang disebut negara adalah keluarga yang di kepalai oleh orangtua. Jika di Indonesia, dari tahun ke tahun banyak sekali orangtua yang tidak faham dan melek pentingnya pengasuhan anak yang benar , apa yang akan terjadi sekian tahun ke depan ?
Sekarang, berbagai macam kasus bisa kita lihat dari tv setiap hari. Atau tak perlu dari tv, mungkin kita sering melihat langsung bukan? Saya pribadi sering sekali „membaca“ hal tersebut. Dari curhatan asisten tumah tangga, tukang sayur langganan, pedagang somay, tukang ojek, tetangga dan teman ( baik dari kalangan menengah ke atas maupun menengah ke bawah) rata-rata mereka mempunyai masalah. Bila saya renungkan lebih dalam lagi, sebenarnya masalah mereka bersumber dari pola asuh mereka yang kurang tepat. Saya bisa berbicara seperti ini bukan berarti saya luput dari masalah. Lalu, saya mencoba menarik keluar lagi. Bila dikaitkan dengan problematika bangsa kita, apakah semua itu terjadi secara instant? Bim salabim, abrakadabra tiba-tiba Indonesia mempunyai problematika yang berat dan akhirnya membesar. Begitukah? Kalau memang begitu, siapa sih tukang sihir yang hebat tersebut ? Mari kita cermati :
1. Korupsi? pemerkosaan? suap? perampokan? penipuan? Benarkah semata-mata karena kesalahan sistem yang dibangun rezim tertentu? Atau berawal dari sekumpulan orangtua yang terbiasa menuruti saja apa keinginan anak (bukan apa kebutuhan anak) ? Apakah bukan karena orangtua yang menuruti saja keinginan anak walau itu bukan hak nya dan tidak sesuai kemampuan orangtua?
2. Kasus yang disebut “kelaianan pola makan” pada anak; anak suka makan sabun, obat nyamuk dsb. Benarkah semata-mata karena kelainan pola makan ? karena masalah financial keluarga yang sulit? Atau karena orangtua yang tidak bisa berkata tidak pada anak ?
3. Anak-anak dibawah usia 7th yang kecanduan rokok, apakah semata-mata karena pemerintah masih memeberi izin perusahaan rokok untuk berproduksi? Atau berawal dari orangtua yang tidak tegas melarang anaknya yang berbuat tidak wajar?
4 Anak-anak kecanduan narkoba, pornografi? Pergaulan bebas, free sex, lesbi, homo, benarkah karena semata-mata faktor hukum yang tidak tegas? Atau berangkat dari orangtua yang “sok memberi kebebasan” namun tanpa “bingkai” yang jelas ? Apakah bukan karena orangtua yang kurang kontrol dan tanggap terhadap anak-anaknya ?
5. Bunuh diri pada anak-anak. Semata-mata karena masalah ekonomi ? Atau orangtua yang tidak lihai mengolah mental anaknya?
6. Autisme, bayi lahir cacat dan berbagai kelainan fisik apakah semata-mata karena konsumsi makanan yang salah, faktor genetis atau saat menjalani kehamilan seorang ibu mengalami tingkat stress yang tinggi ?
7. Cobalah baca, cermati dan renungkan sendiri.....
Menurut saya ,salah satu sumber problematika bangsa berawal dari pola pengasuhan yang salah. Pola pengasuhan meliputi pola komunikasi, pengetahuan dan wawasan, rasa empati, kepakaan ( tanggap ), teladan, wibawa , karisma, citra diri dsb yang semua itu idealnya dimiliki orangtua. Sebenarnya ada hal yang cukup krusial sebelum berbicara tentang pola pengasuhan., yaitu kesadaran orangtua akan tugas, fungsi dan perannya. Bila mereka menyadari hal itu, dengan sendirinya orangtua akan meretas jalan untuk mendapatkan pola pengasuhan yang benar. Efeknya, orangtua mengerti apa yang akan di transfer ke anak-anaknya.
Bila mencermati kondisi saat ini, kira-kira apa yang sudah diberikan orangtua pada anak-anaknya? Sementara itu, berbagai ideologi, pemikiran, isme-isme yang tak jelas juntrungnya, tak jelas dasarnya deras mengalir. Bejana jiwa anak kosong, sehingga mudah terguncang dan terisi oleh sesuatu yang tidak jelas. Kantong jiwa anak ( meminjam istilah Bunda Elly Risman) kosong, kempes sehingga mudah terombang-ambing. Terbang kemana angin bertiup. Maka lahirlah koruptor, perampok, penjilat, kecanduan narkoba, kecanduan pernografi dsb sebagaimana yang saya sebut diatas tadi.
Saya bukan bermaksud semata-mata menyalahkan orangtua. Memang banyak sekali variable, faktor yang mempengaruhi kasus-kasus menyedihkan di negara kita. Namun orangtua adalah elemen penting dalam sebuah negara. Mari kita sadari hal itu. Orangtua mempunya posisi yang terhormat, krusial dalam sebuah negara.
Saya juga tidak bermaksud menganggap angin lalu atas berbagai usaha yang telah dilakukan pemerintah dalam mengatasi problematika bangsa. Namun maaf-maaf saja, menurut saya usaha pemerintah dalam mengatasi berbagai masalah di negara ini seperti mengobati “gejala penyakit” saja, bukan mengobati “sumber penyakit” nya. Bila di analogikan, misalnya, kita pusing, kita diberi obat pain killer ( penghilang rasa sakit ). Rasa sakit memang akan hilang. Namun apakah penyebab sakit kepala kita juga hilang atau sembuh ? Padahal , bisa jadi sakit kepala kita karena darah tinggi, HB rendah, tekanan darah rendah, cedera ringan atau bisa jadi kanker otak. Tentu saja jika sakit kepala kita karena HB rendah, tidak bisa hanya dengan pain killer, perlu vitamin penambah darah, makanan yang banyak mengandung zat besi. Demikian juga penyakit-penyakit yang lain, semestinya punya treatmen sendiri-sendiri. Saya persilahkan lagi pada pembaca untuk merenungkannya. Masalahnya apa? Dan bagaimana penanganan pemerintah?
Menurut saya, sosialisasi pentingnya pola pengasuhan yangbenar semestinya menjadi salah satu agenda penting pemerintah.Dan hal tersebut salah satu solusi masalah negara. Bagaimana caranya ? teknisnya? Yah...syukur-syukur bila ide saya diatas, tentang counter curhat pengasuhan gratis bisa di akomodasi ( hehee). Dan sebenarnya, banyak jalan menuju Roma, banyak cara, banyak kesempatan, banyak modal, banyak dana. Masalahnya, mau atu tidak kah “orangtua” kita mendengar dan merealisasikan?
Masih seperti tulisan saya sebelumnya, sampai kapan bila kita menunggu dukungan pemerintah? Bagi saya pribadi, berteriak-teriak terus membuat “garing” ( gangguan jiwa ringan ) dan “ganteng” ( gangguan tenggorokan ). Saya tidak bermaksud mengecilkan mereka yang berjuang keras meneriakkan sesuatu pada pemerintah. Saya menghargai, masing-masing punya “gaya” dan ketrampilan tersendiri dalam penyelesaian masalah. Saya , tidak punya ketrampilan berteriak keras ( tapi mencubit hehe).
Saya pribadi memilih memulai dengan pembongkaran diri. Melihat ke dalam diri mencermati, mensyukuri secara cerdas ( bukan cuma dalam tataran kepala apalagi sekedar ucapan Alhamdulillah ) potensi yang telah dianugerahkan Tuhan pada kita sebagai manusia. Menilik, apa yang kurang dari kita?
Kita, manusia diciptakan bukan atas iseng-iseng Tuhan. Kita sebagai manusia punya tugas, fungsi dan peran. Ketika Tuhan sudah memberi tugas,fungsi dan peran pada manusia, mana mungkin Tuhan tidak memberi bekal ? Bukankah kita sudah dibekali potensi internal dan eksernal. Bahkan Tuhan juga memberi ”juklak” bagaimana kita bisa menjadi manusia mulia sesuai kehendakNya. Sudah kah kita memahami? Jika belum, lalu selama ini apa yang sudah menuntun kita dalam kehidupan kita yang sudah berpuluh-puluh tahun ini? Apa yang telah mengacaukan pola pikir kita? faham apa yang sudah menggerogoti jiwa kita? Sadar atau tidakkah kita bahwa setiap saat kita menjadi incaran pihak-pihak tertentu? Mereka datang dengan menawarkan “sesuatu” dengan kemasan yang tampak logis, keren. Akhirnya kitapun terjebak pada pemikiran-pemikiran tertentu yang menjauhkan kita dari kesadaran akan tugas, fungsi dan peran kita sebagai manusia, sebagai warga negara dan sebagai orangtua. Apabila kita sendiri sebagai individu maupun orangtua tidak mempunyai imunitas jiwa yang OK, bagaimana generasi penerus kita? Bagaimana “warna” bangsa kita nantinya ?
Setelah pembongkaran diri, mari kita memaksimalkan potensi kita sebagai manusia, terutama sebagai orangtua untuk membuat sebuah perubahan, membuat jejak-jejak indah dengan pengasuhan yang benar. Sekian tahun kedepan semoga akan menjadi sebuah sejarah penting bagi generasi penerus. Apabila kita sudah memiliki kesadaran tersebut, marilah kita tularkan kepada sesama. Tak perlu muluk-muluk harus mengadakan sebuah seminar pengasugan disuatu tempat tertentu, dengan hidangan tertentu, dengan dooprize tertentu bila hal itu memang sangat sulit dilakukan. Lalu bagaimana ? Saya yakin, Anda bisa ( kalau masih sulit hubungi saya heheee) . Ingatlah kata-kata Einstein, dengan logika kita bisa beranjak dari A ke B dengan imaginasi kita bisa beranjak dari A ke tak terhingga. Maaf, bila kesekian kalinya dalam 3 tulisan saya, saya mengutip kalimat Einstein tersebut. Namun, tak ada salahnya saya paparkan disini, bagaimana usaha yang telah saya lakukan secara individu maupun kolektif ( bersa teman-teman). Sebelumnya, maaf saya tidak berniat sekedar pamer dan merasa bahwa saya yang “paling tau”. Karena bisa jadi dari curhatan mereka kita pun mendapatkan “sesuatu”. Inilah usaha yang telah kami lakukan:
- Secara berkala mengadakan silaturahim dengan beberapa teman. Bukan untuk sekedar arisan, lotisan atau ngrumpi ya...maaf, hehe. Salah satu materi silaturahim kami adalah pengasuhan anak. Kami pernah bergantian mengikuti seminar atau training yang berbeda, setelah itu kami saling menularkan ilmu. Alhamdulillah kami juga pernah mengundang Pak Buchary Nasution untuk memberikan training for trainer tentang Leadership. Saya juga menjalin hubungan baik dengan beberapa teman yang aktif di sebuah yayasan pengasuhan anak. Karena itulah, terkadang saya mendapat “keringanan” biaya pelatihan atau seminar. Bahkan sempat diundang menjadi “penggembira” dan “penyemangat” dalam pelatihan yang sama, gratis. Bahkan para trainer pelatihan tersebut sempat meminta saya untuk mengumpulkan beberap orang, akan diberi pelatihan dengan biaya murah. Namun, saya belum berhasil, belum sempat.
- Sebisa mungkin kami menjalin kedekatan dengan pihak-pihak yang sering bersinggungan dengan kami, seperti saudara, asisten rumah tangga, tukang sayur langganan, tetangga dekat ( di Jakarta dan sekitarnya lumayan susah) dsb.. Setelah terjadi kedekatan, biasanya saya menjadi “tempat sampah” mereka. Atau, terkadang saya memang sengaja “mengulik” mereka. Setelah mereka “muntah” barulah saya memasukkan sesuatu, walau itu hal yang sangat sederhana, satu point namun mendasar sehubungan dengan apa yang sudah saya dapatkan. Selanjutnya? .... Terserah Anda.
Sebagai penutup, sampai saat ini saya masih meyakini bahwa keluarga adalah salah satu penentu “warna” kehidupan atau masa depan seseorang ( individu) yang akhirnya akan menjadi “warna” dari sebuah Negara. Bagaimana menurut Anda?
Semoga bermanfaat, salam perenungan
Wassalam
Pekayon, 24 Juni 2011
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI