Di era digital yang serba cepat ini, personal branding telah menjelma menjadi sebuah urgensi di kalangan generasi muda. Upaya membangun citra diri di berbagai platform media sosial dan profesional dipandang sebagai kebutuhan mendesak untuk meningkatkan engagement, meraih peluang, dan memperluas jaringan relasi. Namun, di balik serangkaian keuntungan yang dijanjikan, terdapat hidden cost atau "biaya tersembunyi" yang sering kali terabaikan. Lalu, apakah biaya ini semata-mata bersifat materi, ataukah lebih besar dari itu?
Fenomena personal branding memang menawarkan prospek yang menggiurkan. Dengan citra yang kuat di dunia digital, seseorang dapat membuka akses ke berbagai kesempatan, mulai dari kolaborasi yang menguntungkan, pekerjaan yang diimpi-impikan, hingga koneksi dengan tokoh-tokoh besar. Akan tetapi, di balik gemerlap dunia maya, tersembunyi sebuah harga yang kerap kali luput dari pengamatan, yakni ekspektasi masyarakat yang tak jarang menjelma menjadi beban psikologis.
Salah satu hidden cost yang paling signifikan adalah tekanan ekspektasi publik. Ketika seseorang menampilkan representasi ideal dirinya di media sosial, secara implisit ia telah menciptakan standar tertentu di mata khalayak. Masyarakat akan berasumsi dan bahkan menuntut agar individu tersebut senantiasa tampil sempurna dan konsisten dengan citra yang telah diproklamirkan. Hal ini diungkapkan dengan lugas oleh Griffan Qisthan R., Mahasiswa Universitas Airlangga yang telah lama berkecimpung di dunia personal branding. "Menurut saya, tantangan dari personal branding yang paling mendasar adalah timbulnya ekspektasi tinggi dari masyarakat. Pandangan orang terhadap kita cenderung terpaku pada apa yang kita tampilkan. Konsekuensinya, kita seakan dituntut untuk selalu memenuhi ekspektasi tersebut," ungkapnya.
Pernyataan Griffan ini selaras dengan diskusi yang mengemuka dalam workshop "Zona Diri" yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya (UB). Acara tersebut menyoroti urgensi menjaga kesehatan mental di tengah tekanan personal branding. Sebagaimana dilansir dari laman PPS Komunikasi UB, workshop ini mengkaji dampak personal branding terhadap kesehatan mental generasi Z. Hal ini mengindikasikan bahwa tuntutan untuk selalu tampil "sempurna" di dunia digital berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi kondisi psikologis individu.
Lebih lanjut, Griffan juga mengakui bahwa personal branding telah membuka peluang bagi dirinya untuk berpartisipasi dalam kompetisi atau tawaran kepanitiaan, serta dapat meningkatkan kepercayaan publik kepada dirinya. Tentu, hal tersebut merupakan deretan keuntungan yang sulit disangkal. Namun, pertanyaan krusialnya adalah, bagaimana individu dapat mengatasi hidden cost atau tekanan ekspektasi yang menyertainya?
Untuk mengatasinya, Griffan telah memberikan tips yang dapat dilakukan: "Memperkuat prinsip diri, tidak terlalu larut dalam harapan orang lain, menjadikan ekspektasi sebagai motivasi, dan menerapkan pemahaman bahwa keberhasilan maupun kegagalan pada akhirnya adalah untuk diri sendiri, bukan untuk memuaskan pihak lain."Â
Sobat pembaca, hal ini sangat penting untuk direnungkan. Membangun personal branding memang penting di era digital ini, tetapi hendaknya kita tidak sampai mengorbankan integritas dan psikologis diri.
Oleh karena itu, bijaklah dalam membangun personal branding. Tampilkan versi terbaik diri, tetapi tetaplah autentik dan jujur. Jangan biarkan ekspektasi masyarakat mendikte langkah hidup kita. Manfaatkan personal branding sebagai instrumen pengembangan diri, bukan sebagai beban yang membelenggu. Dengan demikian, kita dapat memetik manfaatnya tanpa mengorbankan kesehatan mental dan kebahagiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H