Di saat cuaca mendung dan termometer di dinding menunjukkan angka -4, perut ini rasanya selalu ingin diisi dengan makanan berkuah yang bisa mengenyangkan sekaligus menghangatkan. Bakso kampung lengkap dengan tetelan, taoge dan sawi hijau selalu terbayang di saat seperti ini. Biasanya saya sudah sibuk mencari alasan untuk pulang kampung ke Indonesia. Â Biasanya bulan Juni dan Juli dipenuhi dengan undangan pernikahan saudara ataupun teman dekat. Entah karena situasi ekonomi yang semakin menyurutkan niat untuk menikah atau karena alasan lain sehingga belum ada satu undangan ataupun kabar mengenai rencana pernikahan yang saya terima. Â It's getting frustrating! Kerinduan saya akan kampung halaman di saat tubuh menggigil kedinginan membuat saya mulai memikirkan berbagai jenis makanan tradisional yang selalu berhasil mengenyangkan dan menghangatkan. Coto Makassar! Makanan khas kota Makassar yang merupakan tempat kelahiran saya langsung menggoda benak saya. Â Berhubung saya bukan ahli masak, saya tidak bisa membandingkan atau menyamakan coto dengan sup atau soto daging lainnya. Â Yang saya tahu hanyalah bahwa coto tidak mengandung santan tapi tetap menggunakan berbagai daging jeroan seperti layaknya soto Betawi. Coto Makassar Paraikatte atau Coto Makassar Ranggong yang terkenal di Kota Daeng, Coto Dg Tata di Jakarta atau pun Coto Makassar di Kota Baru Jogja membuat saya semakin ngiler membayangkannya. yummy... Sayangnya, saya berada ribuan kilometer dari Makassar. Â Ah, seandainya saja saya bisa memesan coto Makassar lewat internet (maklum, musim dingin membuat saya hanya berani berbelanja di dunia maya). Seandainya dulu saya lebih memperhatikan cara Mami memasak coto ketimbang sibuk membantu Papi mengecat rumah. Seandainya saya tidak harus mengikuti suami ke negara ini. Seandainya saya bisa membawa seorang pembantu yang ahli masak coto ke negara ini. Seandainya, seandainya... Bagi saya, dan mungkin juga bagi mereka yang lahir dan besar di Makassar, Coto Makassar lebih dari sekadar makanan tradisional. Â Tradisi makan coto sudah menjadi bagian dari keluarga kami. Â Kebersamaan terasa sangat menyenangkan saat saya bersama keluarga ataupun bersama teman-teman menikmati semangkuk coto ditemani ketupat dengan kacang goreng ditambah pedasnya sambal taoco. aaahhh, nyamanna tawwa... Restoran yang menjual coto biasanya tidak terlalu megah bahkan demi menikmati semangkuk coto yang 'asli' terkadang saya harus rela duduk di dalam warung kecil dengan meja dan bangku-bangku kayu yang sangat sederhana. Suami saya, yang kebetulan lahir di negara yang suhunya lebih rendah dari Indonesia, sempat bingung kenapa kami harus makan coto yang panas di dalam ruangan yang kecil, (agak) pengap dan tentu saja membuat kami berkeringat bahkan sebelum memulai makan coto. Untungnya, suami saya cukup cerdas untuk menyadari bahwa sangatlah tidak bijak untuk mengkritisi 'budaya makan coto' istrinya. Â Dia pun mulai 'berdamai' dengan coto. Â Dia sudah fasih mengucapkan "coto tidak pake jeroan, ya" setiap kali kami mulai sibuk memesan coto dengan berbagai jeroan. Saat orang-orang memandangi suami saya dengan pandangan bingung setiap kali kami memasuki warung coto, suami saya hanya bisa tersenyum dan berkata, "istri saya orang Bugis, dia suka coto, saya juga suka coto karena saya orang Bugis putih."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H