[Part 2]
Ilalang malang, dipagi yang subuh ; tubuh-tubuh mengigil. Teguh setia menanti bening embun pagi membasuh mesrah.
Tuan, Jika matahari pagi terlanjur mengecup keningmu lebih awal sebelumku terjaga maka bersyukurlah sebab aku masih hidup dan menyayangimu seutuh dada.
Tuan, pagi aku kembali dihantam perih saat gugusan-gugusan cerita pagi bersamamu kembali teduh dipikiran. Aku menimang cemas menanti riuh kabarmu dari balik jeruji besi. Andai saja kehidupan dibumi manusia tak padat prosedural, aku ingin menikmati gigil malam bersamamu diatas tilam tanpa alas. Sebab jujur, sering aku di tikam kebiasaan-kebiasaan yang sering kita budidayakan bersama.Â
Tuan, setelah hari-hari penghakiman itu, aku tanpa riuh kabarmu adalah sebuah kebiasaan yang mesti dilatih ulang.
Tuan, kalau boleh jujur ; aku tak bisa cemburu, bisaku hanya menyayangimu seutuh dada. Meski kadangkala kondisi sekitar menjadi alasan hati sulit sekali membendung ikhtiar sua yang terlanjur membatu.
Tuan, bagaimana kabar hari ini ??? Â Aku disini merayakan sepih bersama hamparan Ilalang malang yang sedari tadi gemulai dicumbu nakal sang angin. Ia seakan-akan memanggilku untuk sejenak meraba lukanya yang patah. Sedang aku merawat luka-lukaku sendiri, menunggu pulih atas kepulanganmu.
Tuan, perpisahan memang perjamuan paling laknat untuk mencicipi anggur kerinduan. Bersama nanar yang bertengger dipelupuk nalar, aku menunggumu disini berharap kepulanganmu menuangkan anggurmu diatas cawan yang lama kuharamkan atas namamu.
Tuan, bersama jarak yang memasung ragamu dari rengkuh jemari, aku hanya mengirim air mataku untuk menjaga hatimu dari kesepian.