[Part 1]
Ilalang malang, di saban malam yang lengang
Langit melegam kelam, menjulur puting rembulan dari langit. Sepih, dilema dan duga-duga di kepala hingga kertas yang jatuh pun terdengah riuh nyaring dirumah telinga. Satu persatu rinduku melantunkan melodi ; kata, frasa, klausa dan kalimat menjelma aksara.
Setelah hari-hari penghakiman, segalanya masih peripurna seperti sediakala. Rindu masih setia dan giat memunggut kenangan; pada lorong-lorong ingat yang hampir saja gila saat dipaksa lupa. Pada debuh tanah yang laten mencatat langkah yang hampir saja hilang saat modifikasi zaman jauh menjajah sadar.
Hipotesa yang kita gagas diawal sepakat untuk sama-sama memapah perjalanan menuju rumah segala pulang masih menuai konklusi yang sama tentang kita, rindu masih betah pulang merawat ingat. Kendati ikhtiar sua menuai rindu dalam rumah kasih sayang masih dibelenggu jarak, dipenjara jeruji besi atas delik perkara kemanusiaan yang divonis atas dirimu. Aku masih gusar mengendong rindu di tungku-tungku rindu tuan.
Aku tak baik-baik tuan; puisiku basah kala merapal doa-doa sunyi, hatiku lebam kala ribuan caci maki riuh menampar wajah, tubuhku kerdil menadah sumpah serapah yang dilempar wajah-wajah sinis ke pelupuk mataku. Semenjak hari penghakiman dikenakan atas dirimu, aku tak lebih dari perempuan jalang dimata mereka tuan, tuduhan itu lebih hebat dari anoreksia dan insomnia akut yang siang malam menjarah ragaku.
Tuan, diantara kesakitan-kesakitan itu, aku masih setia memegang ikrar setia yang menjadikanku mahkluk pecicilan pemilik doa paling kencang. Ikhtiar bersamamu tidak pernah patah meski aku berkali-kali patah atas setiaku sendiri. Kenyakinanku telah membatu, bahwasanya kelak engkau datang meminangku tanpa mahar airmata; membayar segala caci maki dan sumpah serapah dengan decak kagum dipandu sorak sorai kemenangan setiaku atas kepulanganmu. Aku pemilik doa paling kencang.
Tuan, aku terlanjur dalam menempatkanmu pada sebuah perasaan sehingga aku pun telah siap terluka dan tengelam bersama perasaanku hingga mentari terbit setelah mendung yang terlalu lama mendiami.
Tuan, jika satu hati terlanjur  menyentuh nurani maka yang datang sesudahnya hanya akan berpapasan dengan kemungkinan-kemungkinan terkecil. Meski sepih; aku tidak sendiri, aku punya Tuhan yang setia mencintai sekalipun tanpa sillatuhrami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H