"Aset besar bangsa tidak lain adalah generasi dengan jiwa keindonesiaan, maka history educations merupakan opsi alternatif solutif untuk memanusiakan manusia indonesian maka sekolah-sekolah mestilah menjadi rumah yang damai untuk tumbuh kembang generasi tanpa adanya tindakan-tindakan represif apalagi diskriminatif yang bermuara pada akumulasi kapital"
Pendidikan merupakan suatu hal urgent bagi sebuah negara bangsa berkembang seperti Indonesia. Berangkat dari perspektif tersebut sudah selayaknya pembenahan yang lebih detail dalam ranah pendidikan alangkah lebih baiknya mengarah pada kualitas pendidikan bukan kuantitas pendidikan (Institusi Pendidikan) seperti yang dikonstatir jauh jauh hari oleh Founding Father kita Bung Karno yakni Indonesia an Character Building dimana pendidikan yang berangkat dari akar rumput yang lebih menyentuh pada jiwa bangsa Indonesia dalam pribadi seorang generasi. Karena kita kadang kala lalai pada persoalan membangun manusia Indonesia, membangun generasi Indonesia dengan jiwa Indonesia. Maka sangat penting History Education karena generasi yang besar adalah generasi yang tidak melupakan sejarah bangsanya. Indonesia hari ini lebih menonjol pembangunan fisik seperti pembenahan infrastruktur dasar ketimbang membangun manusia indonesianya karena disatu sisi pembangunan fisik mengalami peningkatan yang signifikan tapi disisi lain degradasi moral ditandai dengan maraknya kejahatan prosedural dan strutural yang terselubung dan kejahatan intoleransi pun tidak kalah senggit dengan kasus korupsi yang merajalela mengerogoti bangsa hari ini. Jadi peningkatan yang signifikan dari sisi pembangunan fisik dan degradasi moral disisi lain membentuk garis sejajar yang entah sampai kapan bersinggungan apalagi berpotongan pun belum punya titik terang, berbeda dengan kepentingan dimana hari ini oposisi besok bisa koalisi, hari ini lawan besak bisa jadi sahabat lantaran padatnya muatan kepentingan yang belum terakomodir sehingga proses pembiaran pada hal-hal krusial terjadi begitu lama hinggah saat ini. Kita sebagai bangsa dan juga manusia indonesia terlalu sibuk membenahi fisik yang menawarkan nilai ekonomis yang menggiurkan, sibuk memperjuangan hal-hal yang padat muatan politik kepentingannya namun lupa membangun aset bangsa yang tidak lain adalah generasi dengan jiwa keindonesiaan.
Mau jadi apa bangsa ini ketika generasi tidak lagi dilihat sebagai aset besar bangsa yang sebenarnya harus menjadi subjek prioritas yang mesti diperhatikan negara mendahului kepentingan kepentingan spasial yang saling berbenturan, kemudian melahirkan deviasi sosial yang begitu lebar ??? Stratifikasi sosial begitu nampak dikarenakan kesenjangan ekonomi dan klasifikasi tingkatan pendidikan dalam tatanan masyarakat dengan tingkat sensitivitas yang sangat minim menjadi semacam sebuah kredo yang menakutkan. Menyaksikan realitas dalam ranah pendidikan saat ini mulai dari tahap input, proses hingga outputnya, maka pendidikan dapat dianologikan seperti dua mata pedang yang saling berlawanan. Artinya pendidikan di satu sisi dapat menjadi pedang pembebasan dan penciptaan keadilan, kesejahteraan serta kemakmuran bagi manusia. sebaliknya disisi yang lain dapat menjadi alat pengekang, penindas dan perampas kemerdekaan manusia. Itu semua sangat tergantung di mana ruang dan waktu pendidikan itu bersemayam serta diarahkan.
Di era sekarang ini, di mana dominasi kapitalisme telah merasuk secara besar ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Hakikat dari pendidikan pun telah mengalami pergeseran keluar dari tujuan nasional pendidikan yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan tujuan filosophy pendidikan yakni memanusiakan manusia. Esensi pendidikan yang seharusnya digunakan sebagai alat untuk menstimulasi "kesadaran kritis" dan mengajarkan para peserta didik untuk menemukan kebenaran bagi dirinya serta orang disekitarnya. Kini telah terkungkung di dalam sebuah dominasi Culture Positivisme, yang di mana pendidikan hanya digunakan untuk membuat para Intelektual hasil didikannya beradaptasi terhadap dunia industri serta membentuknya menjadi manusia-manusia yang mengorientasikan kehidupannya bagi dirinya sendiri. Akibatnya hilang jiwa dan semangat keindonesiaan serta hilangnya penciptaan kesadaran kritis dalam pelaksanaannya. Penggunaan kurikulum cambridge sebagai rujukan dalam pelaksanaan proses pembelajaran di sekolah-sekolah yang konon bertaraf internasional atau sering diplesetkan menjadi Sekolah "bertarif internasional" tersebut, secara terang benderang telah menistakan kehidupan nasional bernegara-bangsa. Logikanya, kurikulumnya saja berpedoman dengan cambridge yang merupakan kurikulum pembelajaran asing atau luar negeri, yang pasti tidak akan ada pembelajaran-pembelajaran tentang berbagai kehidupan nilai-nilai lokal, serta kesosial-budayaan yang benar-benar menerangkan keindonesiaan disana. Dengan hal yang demikian, mana mungkin pendidikan yang seperti itu dapat membentuk national building serta pembangunan jiwa keIndonesian, yang ada malahan akan menghilangkan jiwa Keindonesiannya. Generasi dipersiapkan sesuai dengan kebutuhan pasar global tanpa kemudian melihat nilai dari tujuan filosophy pendidikan yakni mesti menumbuhkan kesadaran dalam diri generasi yakni kesadaran moral, kesadaran sosial dan kesadaran kosmis (kepada alam semesta) sehingga generasi kelak menjadi manusia terpelajar yang bijak seperti pesan Pramodya Ananta Toer dalam buku Bumi manusia dimana menegaskan bahwa terpelajar adalah generasi  yang adil sejak dalam pikiran apalagi tindakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H