Sejarah adalah peristiwa yang sudah terjadi, yang terekam apa adanya di satuan waktu tertentu. Peristiwa tersebut telah terjadi, dan hanya terjadi pada saat peristiwa itu terjadi. Pemaknaan sejarah cenderung subyektif, meskipun sang penutur sejarah berusaha untuk membuatnya mendekati makna terjadinya sejarah tersebut terjadi.Â
Nah, saya secara pribadi sebagai penikmat film, ingin menikmati bagaimana Nolan mengadaptasi dan memberikan makna pada file sejarah Bapak Atom, J. Robert Oppenheimer melalui suguhan visual. Ulasan ini terbagi menjadi tiga bagian, secara berurutan menyampaikan tanggapan saya mengenai suguhan ini pada indera saya.Â
Pertama, film ini sebenarnya adalah suguhan kesekian kali yang saya nikmati tentang bagaimana usaha industri film melakukan pemaknaan sejarah, sebut saja, "Theory of Everything" (2014) dan "A Beutiful Mind" (2001).  Dua film ini berusaha memaknai perjalanan seorang manusia yang dikenal atau dianggap jenius di bidang mereka masing-masing. Theory of Everything mengulas perjalanan hidup Stephen Hawkin, sedangkan A beutiful Mind mengulas perjalanan hidup John Nash, tentu ini bukanlah hal yang mudah untuk menyuguhkan perjalanan hidup mereka dalam durasi yang terbatas, meskipun sudah cukup lama untuk sebuah film, rata-rata dua jam lebih. Tanpa bermaksud membandingkan ketiganya, saya sebagai penikmat memberikan apresiasi kepada ketiga sineas film yang menyuguhkannya.Â
Alasan saya menyebutkan kedua film tersebut, karena saya melihat ada persamaan yang mencolok, bahwa keduanya juga mengulas kejeniusan manusia sesuai dengan bidangnya masing-masing. Selain itu, saya mendapatkan kesamaan lainnya, yaitu ada tokoh-tokoh penting di dalam setiap kehidupan mereka masing-masing. Peran mereka memberikan sumbangan yang penting dalam perjalanan kehidupan masing-masing tokoh tersebut. Diawali dari awal keberadaan mereka, pergumulan mereka, sampai pada bagaimana mereka menyelesaikan pergumulan mereka masing-masing.Â
Proses racikan setiap momen dalam setiap rentang waktu agar menjadi sebuah cerita, yang ada awal, dan akhirnya, tentu menjadi sebuah tantangan sendiri bagi sineas yang menyuguhkan cerita tersebut dalam bentuk visual. Kejelian mereka melihat setiap bagian kehidupan dan menyusunnya menjadi sebuah suguhan alur kehidupan tokoh utama tersebut menjadi kunci utama untuk membuat indera penglihatan penikmat seperti saya terpuaskan. Belum lagi, menjawab tantangan apakah suguhan visual tersebut menyentuh sisi emosional penikmatnya. Kemungkinan untuk gagal sangat besar, jika keduanya tidak terjawab melalui suguhan visual tersebut. Di sisi lain, saya percaya keberadaan film tersebut sudah melalui proses yang panjang, termasuk survei pasar dan trend kepuasan visual yang diinginkan oleh penikmat film dalam segmen ini.Â
Pada bagian pertama ini, saya menemukan Nolan mampu melakukan tugas sebagai penutur cerita yang bagus. Durasi film Oppenheimer disuguhkan selama tiga jam, menariknya Nolan mampu membuat saya tidak bosan dengan racikan setiap momentnya. Tokok-tokoh penting di lingkaran terdekat Oppenheimer juga mendapatkan porsinya, jika ada ketidakseimbangan dalam porsinya, menurut saya hanya karena ada banyak hal yang perlu disampaikan. Mereka telah memberikan pengaruh besar dalam rentang kehidupan Oppenheimer hingga dia menjadi tokoh penting dan menerima gelar Bapak Atom. Selanjutnya, alur yang disajikan Nolan juga tidak hanya monoton, namun ada beberapa alur yang maju mundur, dengan harapan memberikan pemahaman yang lebih baik pada penikmat film. Jika tidak mengikuti dengan cermat, ada kemungkinan menjadi bingung, sebenarnya ini alurnya mau dibawa kemana.Â
Kedua, saya melihat ada propaganda yang menarik. Sekali lagi, ini adalah sejarah. Sejarah akan melibatkan tokoh yang membuat sejarah terjadi, dalam hal ini sebuah peristiwa terjadi. Saya mencoba mencerna, dan menemukan benang merah yang menarik dari racikan Nolan sebagai penutur cerita. Propaganda yang saya lihat dalam film ini, seperti memberikan sebuah suguhan yang mengindikasikan tentang dampak dari kerja tim yang dipimpin oleh Oppenhaimer memberikan dampak global yang membahayakan, sekaligus adalah pencapaian yang mengubah sejarah, Oppenheimer dan timnya, Amerika, dan dunia. Alih-alih mengakui pencapaian ini adalah hal yang bagus, Oppenheimer dituduh menjadi bagian dari konspirasi mata-mata, dan mempertanyakan kesetiannya pada Amerika. Tentu saja, ini menyuguhkan perang emosi yang mendalam dalam diri Oppenheimer. Selain itu, dampak dari pencapaian dalam bentuk "Trinity" akan menjadi awal bagi proses "the game of throne"Â negara dalam menunjukkan kekuasaannya bagi yang lainnya. Inilah yang membuat Oppenheimer meradang, yang salah dipahamai oleh oknum dari pemerintah yang pada akhirnya menjadi dilema moral.Â
Dalam beberapa adegan saya terkekeh, karena saya melihat peperangan emosi yang disebabkan dilema moral ini adalah sebuah tantangan tersendiri bagi seorang ilmuwan. Sekali lagi, Nolan membuatnya dengan menarik. Saya bisa menangkapnya saat saya melihat setiap adegan, lalu menunggu apakah premis saya tentang film ini terbukti, dan benar, saya menemukan jawabannya. Hal tersebut juga membuat saya terkekeh saat menyaksikannya. Dilema moral ini, menariknya disikapi dengan berbeda oleh masing-masing tokoh utama dalam film ini. Selebihnya, tentu diserahkan pada kemampuan peminat film melihat suguhan Nolan saat ini.
Ketiga, saya telah menuliskan pada awal ulasan saya ini. Sejarah adalah peristiwa yang sudah terjadi, dan terjadi oleh seseorang atau kelompok dibagian demografi tertentu, yang tentunya bisa membawa dampak secara pribadi, lokal atau secara menyeluruh. Nah, Oppenheimer menyuguhkan kisah atau pemaknaan sejarah yang dilakukan oleh Nolan, sehingga perspektif Nolan tentu menjadi yang utama, meskipun saya percaya dia melakukan riset menyeluruh atau paling tidak ada tim yang menolongnya untuk melakukannya. Saya melihat bahwa Nolan mampu melakukannya dengan baik, terlepas ada makna yang bersifat propaganda, itu sah-sah saja. Jika memang tidak setuju dengan Oppenheimer, yang saya sebut versi Nolan, silakan saja membuat Oppenheimer versi Saudara.Â
Oppenheimer secara implisit menolong saya untuk melihat sejarah dengan lebih obyektif. Otak-atik sejarah, dengan tujuan untuk melakukan konstruksi sejarah semestinya tidak dilakukan. Lebih baik, menyuguhkan sejarah dengan obyektif dengan perspektif penutur sejarah yang subyektif bisa saja dilakukan, asal tidak merubah apapun peristiwa yang sudah terjadi dalam sejarah. Mengapa demikian? karena sejarah itu yah begitu adanya, terjadi dalam satuan waktu tersebut, dan dilakukan oleh tokoh dalam sejarah tersebut, dan terjadi dibagian bumi tertentu, belajarlah darinya. Itu lebih dari cukup, untuk menghadapi masa depan yang penuh harapan. Â