Arsen sebagai lelaki keturunan ningrat, ganteng dan mapan pun juga memiliki pilihan. Yah, awalnya memang pilihannya itu adalah sekadar mengikuti permintaan ayah dan teman ayahya, yaitu ayah Ayla. Pilihan Arsen ini pun membawanya pada serangkaian pilihan-pilihan yang sulit dan tidak mudah. Arsen memilih untuk tetap dan pantang menyerah pada pilihannya itu. Dia mewakili orang yang mau memilih dan memperjuangkan pilihannya itu dengan sekuat tenaga.
So, apapun pilihannya, bukan tergantung apa minumannya, namun bergantung sikap dalam menjalani pilihan tersebut.
Ketiga, The Perfect Husband, memang ada? Saya secara pribadi menyatakan tidak ada, nobody perfect. Ada banyak wanita yang terjerat dengan katagorial ini. Mereka merelakan menunggu yang tepat sampai pada akhirnya lupa tujuan dari menikah itu sendiri. Tidak akan ada the perfect husband jika tidak ada istri yang memang bisa menerima suaminya demikian adanya.Â
Pernikahan tidak akan pernah ada jika menunggu the perfect husband. Segebok qualifikasi tidak akan pernah cukup untuk menggambarkan mereka, suami yang sempurna. Hasilnya lebih pada kontra produktif, alih-alih mencari suami yang sempurna, namun akan mendapatkan luka dan rasa sakit karena qualifikasi-qualifikasi tersebut.Â
Sibuk mencari yang sempurna mengabaikan perhatian-perhatian sederhana dari sekitarnya. Sesaat setelah janji pernikahan dan tiga bulan masa bulan madu, suami yang sempurna menjadi sirna karena hanya berfokus pada kata perfect daripada menggali sesuatu yang dapat dilakukan untuk menolongnya menjadi perfect.
Akhir film ini memang sedih sekaligus bahagia, namun demikianlah hidup. The Perfect Husband is not there but here in your heart and how you help him to become one.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H