Sekitar tahun 1995, saya yang waktu itu masih kelas I SMA dikejutkan dengan kabar 2 orang teman sekelas yang 'dijemput' oleh beberapa orang tak dikenal. Ternyata beberapa hari kemudian diketahui bahwa orang-orang 'penjemput' itu adalah anggota NII yang ingin merekrut kedua teman saya. Salah satu dari kedua teman saya tersebut, sampai dilarang bersekolah berhari-hari oleh orangtuanya karena khawatir. Keduanya memang sempat seharian diajak ke markas mereka. Namun karena sepanjang perjalanan dengan mobil mata keduanya ditutup, markas tersebut tidak pernah diketahui posisi pastinya, bahkan hingga kami lulus. Ketika itu teman saya menceritakan bagaimana di markas tersebut mereka didoktrinasi, tentang bobrok dan rusaknya negara dan bahwa solusi terbaik adalah berlepas dari NKRI dan bergabung dengan NII. Tapi teman saya yang juga adalah anggota ekskul Kerohanian Islam di sekolah, menceritakan keheranannya, bahwa selama doktrinasi itu berlangsung semua orang di markas tidak ada yang sholat. Doktrinasi yang berlangsung sejak sepulang sekolah hingga lepas magrib itu, membuat kedua teman saya terpaksa melewatkan sholat zuhur dan asharnya. Baru setelah berdebat masalah wajib-tidaknya sholat, keduanya diizinkan sholat magrib. Di akhir pertemuan di markas itu, teman saya mengatakan bahwa mereka diminta untuk membayar sejumlah uang, sebagai penebus dosa mereka sejak akil baligh hingga bergabung dengan NII. Karena bila tidak membayar uang tersebut, dosa-dosa mereka belum diampuni Tuhan, walau mereka sudah bergabung dengan NII. Saat kuliah sekitar tahun 1998, masjid di lingkungan kampus saya pernah mengadakan kajian tentang bahaya NII. Salah satu bahayanya adalah mereka yang sudah pernah bergabung lalu keluar, akan dianggap murtad dan menjadi halal darahnya. Juga dibahas tentang bolehnya mengambil harta dari orang-orang kafir untuk membayar infak wajib anggota NII, termasuk orangtua yang belum bergabung dengan NII akan dianggap kafir. Majalah Islam Sabili pernah membahas lengkap tentang sepak terjang NII dan hubungannya dengan Syaikh Panji Gumilang yang kemudian mendirikan Ma'had Az Zaytun, sebuah pesantren besar di daerah Indramayu. Sebuah harian nasional juga pernah saya lihat memajang foto-foto 'warga' NII yang diinstruksikan oleh 'kepala daerah'nya untuk tidak ikut merayakan hari kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus. Kopian surat instruksi tersebut turut dipajang ketika itu. Lalu bila cerita dan kekhawatiran terhadap sepak-terjang NII telah menjadi konsumsi masyarakat Indonesia sejak tahun 1995, bahkan sebelumnya, mengapa pemerintah baru meributkan permasalahan ini tahun 2011? Ke mana aje Bung??! [caption id="attachment_105092" align="aligncenter" width="317" caption="Iklan acara Seminar NII di sebuah Universitas pada tahun 2007"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H