Â
Headline Harian Kompas Senin (21/2/2011) kemarin, yang berjudul "Harga Obat Ancam Kesehatan", mengingatkan pada sebuah anekdot "Orang Miskin Dilarang Sakit". Bila harga obat menjadi semakin tak terjangkau, semakin berat pula kesanggupan masyarakat menengah ke bawah untuk menebus biaya obat-obatan tersebut.
Â
Siapapun yang sakit, tak peduli kaya atau miskin, tentunya akan berusaha berobat untuk menyembuhkan penyakitnya. Ketika berobat, si sakit akan menaruh kepercayaan serta harapan tinggi kepada yang mengobati, sehingga apapun yang disarankan akan diikuti dengan patuh. Bagi mereka yang berobat ke pengobatan alternatif, saran seperti meminum air celupan batu Ponari pun akan diikuti. Bagi mereka yang berobat ke klinik atau rumah sakit, saran dokter sudah seperti perintah atasan yang dianggap harus dipatuhi tanpa keberatan sedikit pun. Pemikiran semacam itu kemudian membuat banyak pihak tidak bertanggung jawab yang memanfaatkannya demi keuntungan pribadi.Â
Â
Bila bicara pengobatan alternatif, cukup banyak oknum yang tanpa pengetahuan memadai kemudian menjadi seperti seorang pakar kesehatan yang andal. Analisa yang dangkal membuat si sakit yang memilih pengobatan alternatif demi menghemat biaya, ternyata malah mengeluarkan biaya kumulatif lebih besar ketika sakit yang dideritanya justru semakin parah. Tapi image 'mahal' yang melekat pada pengobatan dokter, membuat pengobatan alternatif tetap ramai dicari, setidak logis apapun metode pengobatannya.
Â
Guru Besar Farmakologi FK-UGM, Iwan Dwiprahasto menyampaikan bahwa pemerintah yang memposisikan obat sebagai barang privat dan melepas harga obat ke pasar bebas, mengakibatkan terjadinya liberalisasi perdagangan obat. (Kompas, 22/2/2011) Produsen obat terkadang melakukan hal yang tidak patut demi membuat produknya laku terjual. Iming-iming bonus, mulai dari handphone hingga mobil dan rumah, bisa diberikan kepada dokter yang bersedia memberikan resep obat-obatan merk-nya kepada pasien. Hal tersebut membuat dalam beberapa kasus, seorang dokter ketika merekomendasikan obat, bisa jadi bukan karena obat itu yang terbaik atau termurah, tapi karena produsen obat yang direkomendasikan tersebut memberi bonus lebih besar kepada sang dokter. Pasien yang tidak tahu, akhirnya menelan saja semua obat yang diberikan dokter, perlu atau tidak perlunya dia terhadap obat tersebut.
Â
Tapi tentunya tidak semua dokter bertindak demikian. Oleh sebab itu, pasien sebagai pihak yang 'lemah' harus lebih cermat dalam berobat. Sesuai dengan ila berobat ke dokter, jangan pernah ragu untuk menanyakan jenis obat yang diberikan, apa khasiatnya, untuk penyakit apa obat tersebut, serta harganya. Bila harganya dianggap terlalu mahal, mintalah obat sejenis dengan harga yang lebih murah. Bila kurang puas dengan jawaban dokter, tanyakan hal tersebut di apotek tempat membeli obat. Kepahaman dan kecermatan dalam berobat, dapat membuat pasien memperoleh obat yang tepat dengan harga terjangkau.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H