“Lebih cepat Nak, larimu harus lebih cepat.”
“Hah, hah, tapi Ayah… Aku lelah. Aku, hah, hah, tidak kuat…”
“Mereka menginginkan kita Nak. Aku, kamu, ibumu, keluargamu. Bila suatu saat nanti mereka mengejarmu, kau harus siap.”
“Tapi aku sudah berlari secepat yang aku bisa, Yah.”
“Kau bisa lebih cepat, Nak. Karena kau anakku, darah dagingku. Kau pasti bisa lebih cepat dariku.”
Ayah selalu melatihku berlari, hampir setiap hari. Katanya kami adalah keturunan pelari handal, terlihat dari kaki kami yang kokoh berotot. Kecepatan itu diperlukan, terutama saat kami pindah musim semi nanti. Tapi aku tidak pernah mengerti, yang kutahu hanya satu, berlari itu melelahkan.
***
“Lebih cepat, Nak!! Lebih cepat!!! Hah, hah!”
“Hah, hah! Ayah, aku takut Ayah!”
“Bila kau takut, hah, hah, berlarilah lebih cepat!!”
“Ayah, hah, hah, dia semakin dekat, Ayah!!!”
“Anakku, berlarilah ke barat! Kita harus ke barat!!” perintah sang ayah sambil membelokkan arah larinya. Setelah membelok itu posisi sang ayah kini di belakang sang anak.
“Anakku, teruslah berlari… Pimpin ibu dan saudara-saudaramu… Kini kau lebih cepat dariku. Kini saatmu memimpin,” sambil bergumam dalam larinya, sang ayah berbalik ke arah timur.
Kurang dari lima menit kemudian, seekor cheetah yang mengejar pun mendapatkan buruannya. Dan membiarkan kawanan lainnya menyelamatkan diri.
(Flash Fiction dengan total 200 kata)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H