“Ayah kejam! Kenapa Ayah serahkan Ibu pada orang itu?!”
“Ini semua demi kebaikan Ibu, Nak.”
“Kebaikan apanya? Ayah tega! Ayah tidak mencintai Ibu!! Aku benci Ayah!!”
“Nak, cobalah berpikir jernih. Ayah tidak bisa berbuat apa-apa.”
“Bohong! Ayah bisa mencegahnya! Tapi Ayah tidak mau!!”
“Lihatlah Nak, bahkan Ayah tidak sanggup memberimu makan. Sehari-hari kita selalu bergantung pada kebaikan hati Pak Agus. Bahkan tanpa dia, Ayah sendiri tidak akan bisa makan.”
“Tapi bukan berarti Ayah harus membiarkan Pak Agus menjual Ibu kan?!?! Suami macam apa yang tega membiarkan istrinya dijual orang??! A-KU BEN-CI A-YAH!!”
Sang ayah terdiam, tak sanggup berkata lagi. Walau telah merelakan istrinya pada Pak Agus, bukan berarti dalam hatinya tak ada kesedihan. Sang ayah juga merasakan kesedihan yang sama, namun dia tetap meyakini bahwa itu adalah yang terbaik untuk istri dan anak-anaknya.
Seorang perempuan muda kemudian terlihat masuk. Wajah cantik dan pakaiannya menunjukkan dia adalah orang berduit. Sejenak dia berbicara dengan Pak Agus, yang langsung menunjuk kepada salah satu dari mereka berdua. Perempuan itu tersenyum mendekat, wajahnya menunjukkan rasa gemas.
Tangan Pak Agus masuk ke dalam kandang. Sang ayah hanya bisa menatap, saat tubuh anaknya diangkat dan diserahkan pada perempuan itu. Sejumlah uang dibayarkan. Sang ayah kini sebatang kara.
(Flash Fiction dengan total 200 kata)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H