Ibu Cuci tentunya merasa kebingungan dengan fenomena kelangkaan kedelai ini. Beliau mengaku tidak tega untuk menaikkan harga tempe, karena sebagian besar pelanggannya hanyalah pedagang di pasar tradisional, tukang sayur keliling, ataupun tetangga di sekitar tempat tinggalnya. Akhirnya Ibu Cuci mensiasati hal ini dengan cara mengurangi ukuran tempe yang ia jual.
"Nggak berani naikin harga (tempe), paling ukurannya aja dikecilin. Soalnya kasian tukang sayurnya, nanti jualnya gimana," tutur Ibu Cuci.
Para produsen tempe masih belum mengetahui di angka berapa harga kedelai akan berhenti. Pasalnya, harga kedelai belum kembali normal dan masih terus mengalami kenaikan hingga sekarang.
"Katanya masih naik lagi (harga kedelai), belum turun juga. Tapi saya juga kurang tau, soalnya belum pesen (kedelai) lagi. Kemarin ada tetangga yang pesen (kedelai) dan udah dateng, harganya Rp11.400,00 (per kilo), berarti masih naik terus kan," tutur Ibu Cuci.
Menurut Ibu Cuci, sejauh ini belum ada langkah dan solusi dari Dinas Pemerintah Kota Bogor terkait kelangkaan kedelai yang menyebabkan harga tempe menjadi ikut melonjak. Tentu saja masyarakat dan para produsen tempe berharap pemerintah segera memberikan solusi untuk hal ini, karena mereka merasa resah apabila tempe yang menjadi makanan sehari-hari harganya terus mengalami kenaikan.
Fenomena kelangkaan kedelai yang menyebabkan naiknya harga tempe juga pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya, bahkan hampir menjadi agenda rutin setiap tahunnya. Hal ini dituturkan oleh Ibu Cuci yang juga pernah mengalami aksi mogok produksi saat pergantian tahun 2021 lalu. Beliau mengatakan kenaikan harga yang terjadi tahun ini adalah yang paling parah.
"Taun sebelumnya pernah (terjadi kenaikan harga kedelai), tapi ini yang paling parah. Dulu (harga kedelai) naik tapi bisa turun lagi, kalo sekarang enggak, naik-naik terus malah. Waktu tahun baru 2021 juga pernah mogok (produksi) tiga hari. Jadi hampir setahun sekali,"
Harga tempe yang terus mengalami kenaikan tidak menjadikan masyarakat berhenti mengonsumsi tempe. Pasalnya, masih banyak masyarakat yang tetap membeli dan menjadikan tempe sebagai makanan sehari-hari di tengah naiknya harga pokok kedelai, namun tetap memaklumi dengan ukuran tempe yang sedikit mengecil.
"Pembeli masih tetep beli (tempe), paling cuma nanya harga doang. Diakalin kita sendiri aja dikecilin (ukuran tempe) atau gimana," tambahnya.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) menduga, harga kedelai internasional mengalami kenaikan karena China memborong kedelai untuk mendukung reformasi peternakan babi di negaranya. Perombakan itu diperkirakan membutuhkan banyak pasokan kedelai sebagai salah satu bahan baku pakan ternak. Berhubung Indonesia bergantung 80-90% pasokan kedelai impor, tentu saja terkena imbasnya langsung. Terutama perajin tahu dan tempe di Tanah Air, yang membutuhkan sekitar 3 juta ton kedelai setiap tahunnya.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat nilai impor kedelai pada tahun 2021 mencapai US$ 1,48 miliar atau Rp 21,2 triliun (Rp 14.300/dolar). Nilai tersebut naik 47,8% dibandingkan tahun 2020. Volume impor kedelai mencapai 2,49 juta ton. Ini naik 0,58% dibandingkan tahun 2020.