Pada November 2019, COVID-19 muncul pertama kali di Wuhan, China. Dan kemedian penyakit ini menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia dan memberikan dampak buruk pada banyak aspek yanag berdampak dalam pemenuhan nutrisi anak di Indonesia.
Dampak yang pertama terjadi pada aspek ekonomi. Selama masa pandemi pemerintah memberikan peraturan untuk "Stay at home". Situasi ini menyebabkan kinerja perusahaan semakin menurun sehingga banyak perusahaan yang terpaksa memberhentikan Pekerja mereka. Dengan diberhentikannya para pekerja maka dapat menybabkan penurunan pendapatan dan menyebabkan pengurangan dalam memenuhi kebutuhan pribadi. Pengurangan konsumsi mkanan sehat ataupun sayur dan buah dapat menjadi akibat dari kurangnya pendapatan. Hal inilah yang menjadi masalah baru, yaitu pemenuhan nutrisi yang tidak terpenuhi.
Fasilitas dan pelayanan Kesehatan di Indonesia masih belum bisa dikatakan yang terbaik, bahkan banyak pelayanan Kesehatan di daerah yang masih belum bisa disebut memadai.
Pada tahun 2020 WHO mengatakan bahwa 60%-70% Negara di dunia dikabarkan terganggu dalam pemberian  pelayanan imunisasi rutin. Pandemi memperburuk malnutrisi tidak hanya melalui kurangnya pangan tetapi juga disebabkan gangguan terhadap layanan Kesehatan yang tersebar luas. Beberapa gangguan diantaranya pada penggunaan perawatan Kesehatan, imunisasi, dan perawatan ibu hamil. Perkiraan dampak pandemic pada sistem ekonomi, makanan, dan Kesehatan menunjukkan bahwa mungkin ada 9,3 juta anak-anak terlantar pada tahun 2020-2022 di negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah disbanding dengan ekspektasi pada saat sebelum pandemi.
Menurut Global Hunger Index 2021, Indonesia mendapatkan skor 18,0 yang merupakan tingkatan kelaparan sedang dan menempati urutan ke-73 dari 116 negara. Tingkat kelaparan dibagi menjadi 5, untuk skor <9,9 disebut sebagai rendah, 10,0-19,9 disebut sedang, 20,0-34,9 disebut sebagai tingkat yang serius, 35,0-49,9 disebut sebagai alarming, dan >50 disebut sebagai extremely alarming.
Dari data GHI skor tahun 20 tahun terakhir, tahun 2021 menempati skor paling rendah.
Penilaian GHI sendiri meliputi 3 dimensi dan 4 indikator, yang terdiri atas Pemasokan makanan, kematian anak, dan anak kurang gizi. Dengan diperolehnya data berdasarkan ketiga dimensi tersebut, maka dapat dibuat suatu kesimpulan terhadap tingkat kelaparan di suatu negara.
UNICEF Indonesia pada tahun 2020 menyatakan bahwa jumlah anak kurang gizi bisa meningkat tajam akibat COVID-19 jika tidak dilakukan tindakan segera. Situasi pada saat ini adalah 24,4% anak-anak yang mengalami kekerdilan, dan 17% mengalami underweight.Â
Berdasarkan survei dari UNICEF Indonesia didapatkan beberapa pernyataan, antara lain:
- Tingkat gizi buruk ibu dan anak di Indinesia adalah yang tertinggi di dunia
- Indonesia menghadapi tiga beban gizi buruk : keadaan gizi buruk, kekurangan zat gizi, dan kelebihan berat badan dan obesitas meningkat.
- Lebih dari satu juga anak terlantar dan sangat kurus. Indonesia menempati peringkat 4 di dunia
- Hampir dua juta balita dianggap kelebihan berat badan atau obesitas
Bersumber dari Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting, pemerintah meluncurkan beberapa upaya yang dibagi menjadi 5 pilar dan intervensi.
5 pilar yang menjadi upaya pemerintah:
- Komitmen dan Visi Pimpinan Tertinggi Negara
- Kampanye Nasional terfokus pada pemahaman, perubahan perilaku, dan akuntabilitas
- Konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program pusat, daerah dan desa
- Mendorong kebijakan ketahanan pangan dan gizi
- Pemantauan dan evaluasi