Politik uang atau yang kita kenal sebagai serangan fajar merupakan hal yang akhir-akhir ini dapat kita temui dengan mudah menjelang pesta demokrasi terbesar yaitu Pilkada Serentak yang akan dilaksanakan pada Rabu, 27 November 2024. Mirisnya, setiap tahun pasti ada saja oknum yang menggunakan politik uang untuk dijadikan "jalan pintas" dalam meraih kemenangannya. Kegiatan politik uang ini bahkan sudah dilakukan sejak zaman dahulu dalam pemilihan kepala desa di Jawa sekitar abad ke-19.
Politik uang adalah suatu bentuk suap yang diberikan dalam bentuk uang maupun barang seperti sembako dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat. Bukan sedekar kegiatan pembelian suara, segala sesuatu yang dipengaruhi dengan uang dalam proses penyelenggaraan yang menyebabkan salah satu pihak mendapat keuntungan baik itu partai politik atau kandidat juga termasuk sebagai politik uang. Politik uang merupakan bentuk penyimpangan dan salah satu faktor penghambat terwujudnya pilkada yang bersih. Larangan politik uang telah diatur pada Pasal 278 ayat (2), 280 ayat (1) huruf j, 284, 286 ayat (1), 515 dan 523 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Namun, Undang-Undang tersebut dianggap kurang efektif karena belum berhasil memberikan dampak penurunan yang signifikan untuk kasus politik uang di negara kita tercinta.
Faktanya, masih banyak masyarakat yang tergiur dengan uang yang diberikan oleh para oknum. Masyarakat menganggap politik uang adalah suatu hal yang wajar dan menjadikan kebiasaan ini lama kelamaan mendarah daging di lingkungan masyarakat. Tanpa disadari, politik uang hanya memberikan segelintir manfaat untuk penerimanya, dan menimbulkan segudang kerugian bagi bangsa. Uang dengan nominal Rp 50.000 hingga Rp 300.000 berpotensi menyebabkan kesengsaraan 5 tahun bagi negara juga masyarakat. Politik uang merupakan cerminan dari calon pemimpin yang tidak memiliki modal kompetensi, kepercayaan diri, serta tidak bisa bersaing secara sehat. Mereka hanya memiliki modal uang yang akan dikorbankan diawal, dan ketika sudah menjabat mereka akan mementingkan dirinya sendiri tanpa mendengar suara rakyat.
Politik uang banyak terjadi di kalangan masyarakat dengan status ekonomi menengah kebawah, dimana mereka sangat membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, politik uang juga banyak ditemui di lingkungan orang yang tidak terpelajar. Mereka hanya berfikir bahwa mereka akan mendapatkan uang dengan mudah tanpa membanting tulang dan hanya memberikan hak suaranya saja. Tanpa disadari, suara mereka sangat berharga dalam menentukan nasib Indonesia atau daerahnya 5 tahun kedepan. Jika salah memilih pemimpin atau wakil rakyat lainnya, akan timbul berbagai macam permasalahan di kemudian hari.
Untuk mencegah atau meminimalisir politik uang, diperlukan regulasi yang ketat dari pemerintah dan tindak tegas untuk oknum yang melakukan politik uang. Agar lebih efektif, diperlukan lembaga independen yang memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap aliran dana kampanye serta mengusut adanya dugaan politik uang. Yang paling penting dan menenentukan keberhasilan dari pencegahan politik uang yaitu faktor dari masyarakat. Diperlukannya kesadaran dari masing-masing individu dalam menggunakan hak suaranya. Selain itu, diperlukan adanya edukasi terkait pentingnya mendukung calon berdasarkan visi, program, dan integritasnya, bukan berdasarkan uang atau hadiah yang diberikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H