"Orang tua saya marah karena saya berobat ke psikiater. Katanya saya kurang iman, disuruh banyak ibadah"
"Saya malu dok sama penyakit saya. Di rumah juga tidak ada yang mau mendengarkan keluhan saya karena katanya penyakit saya karena kurang iman. Padahal saya rajin ibadah"
Pernyataan ini kerap kali didengar ketika berhadapan dengan mereka yang mengidap gangguan jiwa. Stigma yang masih melekat ini tidak hanya menghambat seseorang mencari pertolongan, namun juga menghambat kelangsungan pengobatan. Padahal, gangguan jiwa tidak dapat disepelekan dan sama seperti penyakit fisik, jika dibiarkan dapat semakin parah dan mempersulit pengobatan.Â
Selain itu, gangguan jiwa yang tidak tertangani dapat menimbulkan hambatan dalam fungsi seseorang seperti beraktivitas dan bekerja serta meningkatkan risiko bunuh diri.
Dalam benak masyarakat, kata gangguan jiwa masih memiliki makna negatif dan sering dihubungkan dengan gangguan jiwa berat seperti skizofrenia. Sedangkan, gangguan jiwa tidak hanya skizofrenia saja.Â
Gangguan cemas, depresi, serangan panik, sulit tidur, gangguan obsesi kompulsi serta masalah pada anak seperti autism dan gangguan perhatian dan perilaku hiperaktif merupakan contoh dari gangguan jiwa.Â
Selain itu, penyebab dari gangguan jiwa juga cukup kompleks dan seringkali merupakan manifestasi dari masa lampau. Karakteristik ini hampir serupa dengan penyakit fisik degeneratif yang bersifat jangka panjang seperti diabetes melitus dan hipertensi.
Hingga saat ini, gangguan jiwa dikatakan sebagai penyakit yang multifaktorial. Faktor-faktor ini saling berinteraksi dan mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap stres. Adapun beberapa faktor ini yakni
Genetik
Adanya riwayat keluarga yang memiliki gangguan jiwa tertentu, salah satunya skizofrenia, dapat meningkatkan risiko serupa pada keturunannya.