Mohon tunggu...
Alysia Valeria
Alysia Valeria Mohon Tunggu... Lainnya - -

-

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Hustle Culture: Bangga Gila Kerja

8 Februari 2023   20:55 Diperbarui: 9 Februari 2023   19:14 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hustle culture adalah tekanan sosial untuk terus bekerja lebih keras, lebih cepat, dan lebih kuat untuk menghasilkan uang. Kalaupun Anda tidak bekerja, Anda diharapkan untuk selalu mempelajari sesuatu yang baru, mengadopsi kebiasaan atau keterampilan baru, atau berolahraga di gym. Pola pikir yang terus-menerus memaksakan diri telah menciptakan budaya persaingan, materialisme, dan ketidakpuasan. Pada dasarnya, hustle culture membuat masyarakat merasa bersalah jika menghabiskan terlalu banyak waktu untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. 

Hustle culture telah muncul sejak tahun 1970-an, dimana saat itu perkembangan industri semakin pesat dan karyawan dituntut untuk bekerja dengan cepat tanpa batas waktu. Pada tahun 1990, perusahaan teknologi juga mulai mendominasi dunia sehingga muncul standar baru bagi kaum muda untuk bekerja berlebihan.

Di Indonesia sendiri, hustle culture sering dikaitkan dengan budaya kerja karyawan di startup teknologi dengan ritme kerja yang sangat cepat. Tak hanya ritme kerja yang cepat, bekerja melebihi jam kerja yang ditetapkan juga kerap dialami oleh para pekerja.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), 32,49 juta orang penduduk Indonesia tercatat bekerja dengan jam berlebih (excessive hours) hingga lebih dari 48 jam per minggu. Padahal, menurut UU No.1 Tahun 1951, pekerja tidak boleh menjalankan pekerjaan dalam satu hari lebih dari tujuh jam dan tidak boleh lebih dari 40 jam dalam seminggu. 

Masyarakat tidak menyadari bahwa bekerja keras adalah hal yang berbeda dengan bekerja berlebihan. Sangat penting bagi masyarakat untuk mengenali perbedaan keduanya. Bekerja keras itu baik untuk kepercayaan diri seseorang, tetapi kerja berlebihan pada akhirnya mempengaruhi aspek kehidupan secara negatif dan merugikan bagi kesehatan mental dan fisik. Para penganut hustle culture dapat menderita secara sosial, emosional, dan spiritual. 

Tingginya jumlah masyarakat yang bekerja berlebihan dan terikat dengan hustle culture merupakan masalah yang mengkhawatirkan. Tanpa disadari, tekanan sosial ini secara tidak langsung memberikan stres dan beresiko menimbulkan burnout di kalangan pekerja. World Health Organization mendefinisikan burnout sebagai "sindrom yang dikonseptualisasikan sebagai akibat dari stres kronis di tempat kerja yang belum berhasil dikelola." Jadi, ketika pekerja berada dalam keadaan stres terus-menerus karena hustle culture, mereka sebenarnya merusak produktivitas mereka sendiri. Sebaliknya, jika orang merasa tenang dan tidak mendapatkan stres, mereka akan mengalami peningkatan produktivitas.

Masyarakat harus mempertimbangkan batasan mental dan fisik pribadi dan menetapkan batasan dalam melakukan pekerjaan. Untuk menurunkan tingkat stres dan terhindar dari hustle culture, dibutuhkan work-life balance, yakni kemampuan individu untuk memenuhi komitmen pekerjaan dan keluarga mereka, serta tanggung jawab dan aktivitas non-pekerjaan lainnya. Harus ada pemisahan waktu kerja dan waktu untuk beristirahat. Istirahat bukanlah hadiah yang didapatkan dari bekerja, namun menjadi keharusan biologis bagi kita untuk melakukannya. Oleh karena itu,  hustle culture tidak seharusnya menjadi tren, norma, atau tujuan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun