Begitulah hari demi hari aku lewati. Satu per satu anggota keluargaku habis aku santap. Hingga hanya bersisa tulang-belulang yang berserakan.
Semoga segalanya menjadi terang setelah bagian ini usai Anda baca. Bukan tanpa alasan aku mengadu domba antara putra-putra Drestarastra yang berjuluk bala Kurawa dengan anak-anak Pandu yang berjuluk Pandawa. Semata agar mereka dan dunia tahu, betapa pedihnya harus bunuh-membunuh dengan saudara sendiri. Derita perang besar Brathayudha hanyalah bagian terkecil dari jenis hukuman dan penderitaan yang pernah terjadi kepadaku. Mereka ku biarkan bunuh-membunuh, tapi tak sampai membuat mereka harus saling mangsa seperti yang pernah aku alami.
Ku susun rencana agar mereka saling benci. Mulanya, aku membujuk Drestarastra agar mengangkat putranya, Duryudana, untuk naik tahta Hastina. Ini peluang untuk menyulut api kebencian karena setelah Pandu mangkat, sejatinya yang berhak atas tahta adalah Pandawa. Dengan mengkudeta posisi itu, bukan tidak mungkin Pandawa akan naik pitam.
Sebenarnya aku tak sampai hati membuat mereka menggelar perang saudara. Itu terlalu menyakitkan. Maka pernah ku susun cara paling senyap untuk menyingkirkan Pandawa. Semata agar mereka terhindar dari tregedi mati di tangan saudara sendiri.
Awalnya adalah peristiwa di Bale Sigala-Gala. Aku mencoba membakar Pandawa hidup-hidup. Namun gagal, bara api tak melukai mereka barang secuil pun. Berikutnya, aku merancang skenario agar salah satu putra terbaik Pandu yaitu Bima mati diracun. Lagi-lagi, cara ini tak cukup berhasil. Nyawanya tertolong oleh bisa ular yang menjadi penawar racun yang menjalar di tubuhnya.
Aku akhirnya meminta Resi Durna, guru Kurawa, untuk menjebak Bima. Oleh Sang Resi, Bima, bocah gagah itu diminta untuk mencari Tirtha Prawidhi. Dalam bayanganku, seharusnya bocah itu telah tewas di perjalanan. Kalau tidak di-untal (ditelan) dua raksasa Rukmuka dan Rukmakala, paling ya dihabisi naga Anantaboga di lepas Samudera. Tapi dia justru selamat dengan membawa pulang ajaran hidup dari Dewa Ruci.
Pernah juga di perjudian, aku berhasil menjebloskan Pandawa ke hutan Kamyaka dengan dadu yang ku buat dari tulang bapakku. Tapi cara itu tak membuat mereka lenyap juga. Dan dengan sangat terpaksa, perang Brathayudha mau tak mau harus ku sulut. Akulah yang menghasut agar Arjuna melesatkan anak panah pertamnya. Sebagai tanda bahwa pihaknyalah yang telah menabuh genderang perang kepada Kurawa.
Terakhir, ini penting  aku utarakan agar tak disalahpahami. Poinnya, bukan aku membenarkan memelihara dendam kesumat kepada orang yang pernah menyaikiti kita. Sungguh, setelahku tak ada yang pernah merasakan tragedi seperti yang pernah aku alami selama mendekam di penajara Hastina. Maka, tak ada satupun yang berhak menjadi jahat dan kejam. Tak ada alasan untuk bunuh-membunuh dengan sesama. Alasan Anda berbuat bengis, tak akan lebih masuk akal dari alasanku. Sampai kapanpun, catat itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H