Sebelumnya, masih ku persilakan dunia berlomba-lomba menobatkanku sebagai Bapak Kebencian, Bapak Tipu Daya, Bapak Kebengisan, culas, provokatif, dan simbol-simbol kebejatan yang lain. Bagiku, itu bukan perkara yang mengganggu.
Kali ini, biarkan aku menceritakan bagian dari sejarah hidupku yang tak pernah dipertimbangkan umat manusia. Meski aku tahu, setelah pungkas perang maha dahsyat di padang Kurusetra, setiap yang keluar dari mulutku hanya akan dianggap bagai angin lalu. Aku merasa perlu menuliskan pernyataan ini agar semua jadi jelas ujung pangkalnya. Utamanya, kenapa sampai hati aku merancang semua skenario berdarah ini?
Apakah aku mengincar tahta Hastina? Sungguh, bagiku jabatan tak lebih berarti dari harga diri. Tahukah Anda bahwa tak ada jabatan yang dibawa mati? Di hadapan Tuhan, kita semua hanyalah seonggok daging telanjang.
Begini, Gandhari (simbakku) dan aku sendiri sejatinya tak menghendeki Drestarastra, pangeran Hastina yang buta itu. Simbak lebih berhasrat seandainya dipersitri oleh Pandu Dewanata (adik Drestarastra). Begitu juga aku yang mendambakan pasangan terbaik buat  simbak. Alasan lain, adalah karena neptu weton antara Simbak dengan Drestarastra tak cocok. Jika mereka jadi dikawinkan, maka yang terjadi adalah malapetaka. Sialnya, pinangan Drestarastra sudah kadung diterima oleh bapak kami, Prabu Suwala, penguasa Gandhara.
Demi terhindar dari malapetaka, maka kami pun menyiasati dengan menikahkan Simbak dengan seekor kambing terlebih dulu, sebelum nantinya benar-benar diboyong ke Hastina. Kambing yang menjadi suami Simbak langsung aku sembelih persis setelah akad keduanya usai. Dengan begitu, ketika menikah dengan Drestarastra nanti, bencana tak bakal merundung rumah tangga mereka. Karena ketika dinikahinya, Simbak sudah berstatus sebagai janda muda.
Sayang sekali Drestarastra tak memahami maksud kami. Dia murka ketika tahu bahwa seorang perempuan yang tidur di ranjangnya, yakni Simbak, adalah janda dari seekor kambing. Dia merasa kehormatannya telah dilecehkan. Tanpa tawar-menawar, dia menitah agar 100 saudaraku beserta kedua orang tuaku dan aku sendiri di-kerangkeng (dipenjara) dalam satu sel.
Di sinilah derita di atas derita aku terima. Pihak Hastina memang benar-benar tahu bagaimana caranya membunuh dengan model paling sadis dibanding dengan segala jenis hukuman yang pernah ada di muka bumi.
Selama di dalam pakunjaran (penjara), kami hanya diberi jatah makan masing-masing satu butir nasi. Sekarang bayangkan, bagaimana kami harus bertahan hidup dengan hanya satu butir nasi itu? Yang ada justru sekarat dalam waktu dekat. Akhirnya, kami bersepakat: satu dari kami harus ada yang tetap hidup. Meski aku sempat menolak, tapi akhirnya pilihan jatuh kepadaku.
Setiap hari, 100 saudara dan orang tuaku mengumpulkan sebiji nasi jatah mereka untuk aku makan. Ya, begitulah hingga akhirnya pihak kerajaan mengetahui hal tersebut dan memutuskan untuk tidak lagi memberi kami jatah nasi sama sekali. Salah seorang saudaraku entah mendapat wisik (bisikan) dari Dewa mana tiba-tiba mengusulkan ide gila: "Makan kami agar kamu tetap hidup." Usulan yang  sialnya disetujui oleh saudaraku yang lain.
Terkutuklah aku jika harus mengganyang daging saudara-saudara dan orang tuaku sendiri. Berhari-hari aku mencoba untuk tak menurutinya, sebisa mungkin bertahan dari rasa lapar dan haus yang tak tertahankan. Tapi karena desakan dari saudaraku, aku pun mulai menguliti satu saudaraku, melahap daging dan menyesap darahnya. Sungguh perih sekali dada ini melakukannya.