Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) adalah organisasi gerakan lingkungan terbesar di Indonesia, dengan anggota 487 organisasi dan 203 individu di 28 provinsi. Berdiri sejak 1980, WALHI aktif dalam penyelamatan lingkungan dan pemulihan hak-hak rakyat atas lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan. Organisasi ini memperjuangkan keadilan ekologis serta hak asasi manusia sebagai tanggung jawab negara terhadap sumber kehidupan rakyat.
Namun, WALHI menghadapi tantangan besar dari dominasi kapitalisme global, liberalisme baru, dan eksploitasi sumber daya alam yang menyebabkan krisis lingkungan hidup. Kerusakan ini tidak hanya memengaruhi ekosistem, tetapi juga tatanan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat, meningkatkan kerentanan di berbagai wilayah. Di tengah tekanan ini, WALHI menyerukan gerakan sosial yang luas untuk memperjuangkan keadilan ekonomi, sosial, dan ekologis. Dengan visi menciptakan tatanan yang adil dan demokratis, WALHI berkomitmen menjadi bagian utama dalam perjuangan menyelamatkan bumi.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) berperan penting dalam melindungi lingkungan melalui berbagai strategi. Dalam advokasi kebijakan, WALHI mendorong pemerintah untuk mengadopsi kebijakan berkelanjutan, seperti menolak proyek tambang di kawasan ekosistem kritis dan mengadvokasi undang-undang yang tidak ramah lingkungan, contohnya Salah satu contohnya adalah UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Kampanye dan edukasi publik menjadi pilar utama untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. WALHI menggelar berbagai inisiatif, seperti kampanye “Selamatkan Hutan Kita” dan kolaborasi dengan lembaga pendidikan untuk menciptakan generasi muda yang peduli lingkungan.
Pendampingan komunitas lokal juga menjadi fokus utama. Melalui program Nusantara Fund, WALHI bekerja sama dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) untuk memberikan pendanaan langsung kepada komunitas. Contohnya, di Desa Ibun, Jawa Barat, WALHI mendampingi masyarakat dalam mengelola lahan perhutanan sosial secara mandiri dan berkelanjutan, yang tidak hanya melestarikan lingkungan tetapi juga meningkatkan kualitas hidup.
Litigasi lingkungan menjadi strategi lain yang diandalkan. WALHI sering menggugat perusahaan yang merusak lingkungan, seperti kasus kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap parah di Sumatra dan Kalimantan. akibat ulah perusahaan kelapa sawit. Langkah ini menciptakan efek jera dan memperkuat regulasi lingkungan di Indonesia.
Selama beberapa dekade terakhir, WALHI menghadapi tantangan besar yang mengancam kemampuan mereka untuk melindungi sumber daya alam Indonesia dan mendorong pembangunan berkelanjutan. Tantangan ini mencakup faktor struktural, politik, dan sosial, dengan ambisi ekonomi sering kali bertentangan dengan kelestarian lingkungan, Eksploitasi Sumber Daya Alam Berlebihan; Ketergantungan ekonomi pada industri ekstraktif seperti kelapa sawit, penebangan kayu, dan tambang menciptakan hambatan besar. Dukungan regulasi yang pro-industri sering mengabaikan kerusakan lingkungan, sementara penegakan hukum lemah akibat korupsi dan konflik kepentingan. Akibatnya, banyak proyek merusak yang mengorbankan ekosistem;
Kriminalisasi dan Intimidasi Aktivis; Aktivis lingkungan sering menjadi sasaran kriminalisasi, kekerasan, hingga pembunuhan. Penggunaan pasal karet dalam UU ITE memperbesar risiko ini, membungkam kritik melalui ancaman hukum. Contoh kasus seperti Golfrid Siregar menunjukkan ancaman nyata yang dihadapi para pembela lingkungan; Rendahnya Dukungan Masyarakat; Meskipun kerusakan lingkungan berdampak langsung pada masyarakat, insentif ekonomi dari industri ekstraktif sering kali lebih menarik. Rendahnya kesadaran akan dampak jangka panjang degradasi lingkungan menyulitkan WALHI dalam membangun dukungan akar rumput.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, WALHI membutuhkan strategi yang terintegrasi dan inovatif. Berikut adalah langkah-langkah yang dapat diambil, Kolaborasi dengan Pemangku Kepentingan: WALHI dapat bekerja sama dengan pemerintah, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil untuk memperkuat upaya pelestarian lingkungan. Kemitraan ini dapat mencakup advokasi kebijakan pro-lingkungan, edukasi masyarakat, dan penyusunan kebijakan berbasis data. Dengan dukungan institusi seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan universitas, WALHI dapat meningkatkan pengaruhnya untuk mendorong pembangunan yang berkelanjutan; Penguatan Gerakan Berbasis Masyarakat: Melibatkan komunitas lokal melalui konsep Wilayah Kelola Rakyat (WKR) dan program pemberdayaan ekologis dapat memperkuat partisipasi masyarakat. Program ini mencakup pelatihan pengelolaan sumber daya berkelanjutan dan keterampilan ramah lingkungan, sehingga masyarakat tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga mitra strategis dalam pelestarian lingkungan; Edukasi dan Kampanye Publik: WALHI dapat meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama generasi muda, melalui kampanye kreatif dan program edukasi. Lokakarya, seminar, dan media digital dapat digunakan untuk memberikan pemahaman tentang dampak kerusakan lingkungan dan pentingnya perilaku ramah lingkungan. Pendekatan ini diharapkan dapat menciptakan generasi baru yang peduli terhadap keberlanjutan ekosistem.
Salah satu studi kasus yaitu, Konflik Lingkungan di Desa Wadas, Jawa Tengah. Permasalahan lingkungan di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, bermula dari rencana pemerintah untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai lokasi tambang batu andesit. Material tambang ini akan digunakan untuk pembangunan Bendungan Bener, salah satu proyek strategis nasional. Proyek ini menuai penolakan dari sebagian besar warga desa karena kekhawatiran akan dampak lingkungan, seperti kerusakan ekosistem, degradasi lahan pertanian, dan hilangnya sumber mata air yang menjadi tumpuan hidup masyarakat.
Proyek Wadas merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), sehingga mendapatkan dukungan kuat dari pemerintah dan aparat keamanan. Kondisi ini menyulitkan upaya advokasi karena warga kerap mengalami intimidasi. Meski penting, isu Wadas awalnya kurang mendapatkan perhatian nasional sehingga memperlambat dukungan luas terhadap perjuangan masyarakat, sehingga aktivis yang mendukung masyarakat Wadas sering kali menghadapi risiko kriminalisasi dan serangan balik dari pihak tertentu.