Gejolak kenaikan LPG 12 Kg tidak bisa dipisahkan dengan kepentingan ranah politik, utamanya menjelang Pemilu 2014 yang tinggal 3 bulan lagi. Kebijakan kontroversial dan sangat sensitif ini sontak menjadi perhatian publik karena dianggap menyalahi momentum serta bertabrakan dengan hajat hidup mayoritas masyarakat.
Setelah publik secara keras berteriak melawan kenaikan harga LPG 12 Kg yang diyakini berdampak dan memiliki efek domino sangat luas ditengah kehidupan masyarakat, kalangan pemerintah terlihat tergopoh-gopoh untuk segera meresponnya.Tidak kalah juga kalangan partai politik beramai-ramai menolak kebijakan yang tidak populer ini sambil terus mencari kambing hitamnya.
Terhadap kenaikan harga LPG 12 Kg ini dikalangan pemerintah telah terjadi aksi tunjuk kesalahan, saling cuci tangan dan lempar tanggung Jawab. Yang luar biasa dari kasus ini adalah pengakuan dari Presiden SBY yang merasa tidak tahu menahu dan tidak dilapori terkait dengan kenaikan LPG 12 Kg yang meroket sampai sekitar 50%. Para Menteri terkait juga saling berkelit dan lempar tanggung jawab seperti Menteri ESDM dan Menko Prekonomian, seakan-akan kebijakan yang menghebohkan itu hanyalah kesalahan dari Pertamina semata.
Puncak dari upaya cuci tangan atas kebijakan yang tidak populis itu adalah ketika Sekjen Partai Demokrat Partai Demokrat bersuara keras menolak kebijakan kenaikan LPG ini dan menyatakan bahwa Presiden SBY tidak mengetahui atau tidak diberi tahu sebelumnya terhadap kebijakan yang sangat merugikan citra pemerintah ini. Karena itu kesalahan yang ada lebih dialamatkan pada Pertamina yang dianggap 'lancang' dalam membuat kebijakan yang meyangkut hajat hidup masyarakat banyak.
Ditengah hampir semua unsur pemerintah, termasuk Presiden SBY yang berusaha cuci tangan atas kebijakan menaikkan LPG tersebut, maka dengan tiba-tiba Menteri BUMN Dahlan Iskan berani pasang badan dan mengaku sebagai pihak yang paling bersalah dalam persoalan ini. Pengakuan kesalahan Dahlan Iskan ini sebagai wujud tanggungjawab seorang pemimpin karena Pertamina memang masih berada dalam lingkup binaan kerjanya.
Itulah perbedaan antara Dahlan Iskan (DI) yang berani pasang badan terhadap tindakan anak buahnya, dibanding dengan SBY yang terlihat lebih berusaha cuci tangan. Presiden SBY bahkan langsung mengevaluasi kebijakan yang dianggap tidak pro rakyat itu sehingga dalam konteks politik pasti akan ada pihak-pihak yang sangat diuntungkan dan yang dikorbankan.
Jika akhirnya pemerintah membatalkan kenaikan LPG 12 Kg dengan kembali ke harga semula atau hanya naik sangat kecil maka yang paling menanggung keuntungan adalah kelompok politik SBY karena dianggap sangat responsif terhadap aspirasi masyarakat sehingga dapat berdampak pada naiknya popularitas partainya menjelang Pemilu 9 April mendatang. Cara ini sangat efektif untuk mendongkrak elektabilitas Demokrat setelah sekian lama ditenggelamkan oleh berbagai kasus korupsi.
Partai Demokrat dan SBY dalam konteks ini lagi-lagi dapat memanfataakan momentum politik secara tepat karena dapat mengambil keuntungan ditengah masyarakat yang sedang resah menghadapi kebijakan yang tidak pro rakyat. Langkah ini pada masa lalu pernah dilakukan ketika pemerintah menaikkan harga BBM namun menjelang pemilu 2009 secara berkala terus menurunkan harga BBM bersubsidi yang pada akhirnya terbukti ampuh membuat Demokrat menang di Pemilu di tahun itu.
Itulah nuansa politisasi yang segera terjadi dibalik kisruh kenaikan LPG saat ini, ada yang cuci tangan, sangat diuntungkan serta pihak-pihak yang paling dikorbankan. Pihak yang paling dikorbankan dalam konteks ini adalah Pertamina terutama pimpinannya (Dirut) karena dianggap telah membuat kebijakan (kesalahan) fatal sehingga wajar jika memperoleh koreksi dan hukuman, terutama dihadapan publik.
Pihak lain yang juga secara otomatis dikorbankan adalah Menteri BUMN Dahlan Iskan karena integritasnya pasti dibenturkan terhadap kepentingan publik. Dahlan Iskan telah mengaku sebagai pihak yang paling bersalah sehingga dirinya pasti memperoleh 'efek' politik nyata atas kebijakan yang ditempuh oleh Pertamina yang dianggap tidak populis. Dalam konteks pemerintahan mestinya kesalahan Dahlan Iskan tidak dilokalisir sebagai kesalahan pribadi semata-- tetapi pemerintah seharusnya secara bersama-sama yang dikomandani oleh Presiden membangun solidaritas, melakukan advokasi, mengakui dan berani menanggung resiko politik yang sama.
Namun kondisi seperti tampaknya sulit terjadi terutama di tahun politik-- dimana semua pihak bergerak dan berbuat atas dasar untung dan rugi secara politis. Dahlan Iskan dalam konteks ini terlihat sebagai pihak yang paling dikorbankan karena citra dan integritasnya secara personal yang paling dipertaruhkan untuk menanggung kebijakan yang mestinya menjadi resiko bersama dalam sebuah pemerintahan.