Presiden Jokowi secara terbuka telah memberikan statemen lugas jika dirinya akan memutuskan persoalan krusial seputar konflik membuncah antara KPK Vs Polisi. Konflik ini terjadi pasca ditetapkannya Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka oleh komisi anti rasuah ini. Konflik semakin memuncak ketika Polri juga menetapkan Wakil Ketua KPK Bambang Widjoyanto dan sekaligus menangkapnya atas dugaan kasus pidana dalam sebuah Pilkada.
Konflik KPK Vs Polisi telah cukup lama mengaduk-aduk emosi publik dan semakin melebar kemana-mana, tidak terhenti dan terlokalisasi dalam konteks persoalan hukum semata, tetapi telah masuk dalam arena pertarungan politik. Pencalonan BG sebagai Kapolri secara realistis didukung sepenuhya oleh Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang dikomandoi oleh PDI-P. BG juga dikenal sebagai orang dekat Megawati serta diinformasikan ikut berpeluh keringat mensukses Pencapresan Jokowi dalam Pilpres lalu.
Presiden Jokowi memang harus melakukan kalkulasi politik secara matang agar keputusannya ke depan tidak kontraproduktif dengan gelombang aspirasi publik, meruntuhkan komitmen pemberantasan korupsi serta menjadi pukulan balik bagi posisinya. Karena itulah Jokowi terus melakukan Komunikasi politik dengan tokoh-tokoh bangsa secara lintas sektoral sebagai ikhtiar agar keputusan yang diambil nantinya bisa cepat dan tepat.
Sudah sangat banyak komunikasi politik dilakukan Presiden Jokowi, termasuk 'dukungan' yang tidak berkurang dari berbagai pihak-- termasuk dari rival terberatnya dalam Pilpres lalu yaitu Prabowo Subianto agar orang nomor 1 di Republik ini cepat mengambil keputusan. Namun sayangnya harapan itu masih mengambang, bahkan jokowi terkesan masih mau mengulur, semakin pusing, dilematis dan bahkan bingung atas semakin banyaknya saran, masukan dan opsi yang masuk kedalam dirinya.
Intensitas Jokowi untuk mencari masukan dan dukungan satu sisi dinilai memang dirinya ingin mencari keputusan yang cepat dan terbaik agar persoalan ini tidak menggangu agenda-agenda kebangsaan lain yang jauh lebih besar dan kompleks. Namun pada sisi lain juga ada yang menilai bahwa Jokowi sebenarnya sedang takut, bingung dan sangat pusing menghadapi realitas ini, seakan menghadapi buah 'simalakama'.
Sikap seperti itu patut disayangkan karena Jokowi saat ini memiliki posisi politik dan kekuasaan tertinggi di Republik ini-- dimana segala tindakannya untuk menyelamatkan bangsa dan negaranya dijamin dan dilindungi oleh konstitusi. Segala tindakan dan kebijakan Presiden Jokowi harus didukung oleh seluruh perangkat birokrasinya dari level Istana sampai yang paling bawah karenanya tidak boleh ada perlawanan dan apalagi pembangkangan dari institusi apapun dibawahnya.
Disamping itu, Jokowi sepenuh harus menyadari bahwa kini dirinya secara syah dan konstitusional adalah pemimpin dan Presiden seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Jokowi bukan lagi milik partai, suku, agama, kelompok dan etnis tertentu saja, tetapi Pemimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat besar.
Karena sangat besarnya mandat kekuasaan dan kepemimpinan yang diamanatkan kepada Presiden Jokowi maka dirinya harus tampil percaya diri, berani mengambil resiko apapun dan bersikap negarawan (Kesatria) dalam memutuskan sebuah tindakan. Sikap Kesatria ini mestinya melekat dalam diri Presiden Jokowi yang secara faktual lahir dan besar dari kultur kepemimpinan Jawa yang memiliki kata-kata keramat : Bahwa Ucapan pemimpin adalah "Sabdo Pandito Ratu Tan keno Woli Wali" (Bahwa Janji/ ucapan Pemimpin adalah suci dan pantang ditarik lagi).
Karena itu, Jokowi harus membuktikan janjinya yang telah dinanti dan dicatat publik. Seorang Presiden tidak boleh menimbulkan ketikapastian dan kebingungan publik seperti terkait dengan kasus Pencalonan Komjen BG sebagai Kapolri dengan segera dilantik atau tegas dibatalkan saja. Akibat ketidakpastian demikian maka kini muncul fenomena tidak sehat dimana keraguan sang Presiden justru telah dijadikan pasal/ media 'taruhan' di sebagian masyarakat.
Karena itu, diakhir pekan ini Jokowi sedang ditunggu publik apakah dirinya yang kini menjadi orang nomor 1 di Republik yang sangat besar ini tampil sebagai seorang Kesatria yang berani menepati janjinya ataukah dirinya rela 'dicap' oleh publik sebagai pemimpin yang "mencla-mencle" (tidak memiliki sikap dan pendirian kuat) dalam menghadapi resiko.
Jika Jokowi akhirnya tidak mengambil keputusan diakhir pekan ini maka dirinya tentu pantas diberi Cap atau pemimpin yang berkarakter "mencla mencle", peragu, penakut dan mudah dipengaruhi sekaligus diintervensi oleh kekuatan-kekuatan yang mengitarinya. Kepemimpinan demikian tidak akan menjadi kuat dan berwibawa, namun lebih mudah diombang-ambingkan oleh berbagai kekuatan politik sehingga berdampak kontraproduktif bagi masa depan kepemimpinannya yang masih panjang.