Ruang publik diakui atau tidak masih menjadi istilah yang belum akrab ditelinga masyarakat umum yang sebagian besar waktunya secara rutin dihabiskan untuk beraktivitas demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Walaupun istilahnya belum begitu akrab dan membumi, namun fungsi dan keberadaan ruang publik ternyata sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat di Perkotaan, yang pemukimannya semakin bertambah sesak, padat dan pasti juga diikuti dengan munculnya berbagai problem kehidupan didalamnya.
Kehidupan di perkotaan yang dipenuhi oleh masyarakat urban tentu mencerminkan tata kehidupan yang beragam, individualistik, materialistik dan konsumeristik. Corak kehidupan di perkotaan demikian selanjutnya membentuk tradisi komersialistik-- dimana setiap gerak aktivitas yang dijalankan oleh masyarakatnya cenderung dibisniskan. Kondisi demikian tentu akan sangat memberatkan bagi masyarakat kurang mampu sehingga merasa 'teralienasi' karena tidak sanggup membayar gaya hidup di perkotaan yang cenderung hedonistik, materialistik dan komersialistik.
Gaya hidup perkotaan seperti itu secara sosial tentu dapat berdampak kontradiktif, dimana jurang pemisah antara yang kaya dan tidak mampu menjadi semakin kontras. Kelompok masyarakat yang beruntung akan sangat mudah menikmati gaya hidup secara eksklusif, hedonistis dan elitis, sementara masyarakat yang tidak mampu semakin tersudut, tersisih dan harus bertahan hidup di pemukiman-pemukiman kumuh yang syarat dengan gaya hidup kurang sehat, rawan kriminalitas serta sulit memperoleh layanan pendidikan, kesehatan dan pemerintahan secara layak.
Dalam konteks inilah munculnya ruang-ruang publik di Perkotaan yang langsung diprakarsai oleh Pemerintah tentu sangat menggembirakan, apalagi keberadaannya sepenuhnya tidak dikomersialisasikan. Keberadaan ruang publik di perkotaan menjadi jawaban atas kebutuhan hidup masyarakatnya yang selama ini terasa makin mahal karena hampir semuanya harus dibayar dengan 'uang'.Â
Dengan adanya ruang publik niscaya masyarakat perkotaan memiliki tempat atau fasilitas untuk berinteraksi, membangun silaturrahmi, bersosialisasi, berekspresi serta  mengembangkan diri sebagai kebutuhan hakiki yang bersifat manusiawi yang tidak lagi dibatasi karena harus membayar dengan tarif yang kadang relatif tinggi. Kebutuhan hakiki inilah yang kini diapresiasi oleh Pemerintah melalui Kementerian PUPR yang mendorong tersedianya ruang publik di Perkotaan.
Ruang Publik sebagai Isu Seksi  Â
Kebutuhan dan pentingnya ruang publik sampai kini masih menjadi tema yang 'sepi' untuk diperbincangkan atau ditempatkan diwilayah pinggiran (tidak penting) dalam setiap perdebatan dalam rangka pembangunan di Perkotaan. Dalam kampanye-kampanye politik, baik saat Pemilu legislatif, Pilpres maupun menjelang Pilkada serentak 9 Desember mendatang, keberadaan ruang publik di Perkotaan tetap tidak menjadi isu yang  aktual serta terasa kurang menarik untuk dipasarkan dihadapan publik. Â
Kampanye-kampanye politik yang terus digelorakan selalu saja mengadu visi misi basi para kandidat yang terus diulang-ulang seperti; percepatan pembangunan perkotaan, transportasi yang murah, peningkatan pendapatan masyarakat, pemerataan kesejahteraan, peningkatan pembangunan infrastruktur secara signifikan, pendidikan dan layanan kesehatan gratis serta berbagai retorika heroik yang melangit juga bombastis. Keberadaan ruang publik sangat jarang diangkat sebagai salah satu tema besar sekaligus isu sentral dalam kampanye politik-- padahal keberadaannya sangat dibutuhkan masyarakat perkotaan secara komunal.
Karena itu masyarakat Perkotaan dituntut berani bersikap cerdas untuk menuntut atau menyuarakan keberadaan ruang publik sebagai tema penting serta isu 'seksi' di perkotaan yang mesti direspon oleh kandidat yang nantinya menjadi pemimpin tertinggi di level lokal maupun nasional. Para kandidat pemimpin ini mestinya dapat cerdas mengangkat pentingnya ruang publik sebagai isu seksi yang populis dalam setiap kampanyenya karena keberadaannya menjadi kebutuhan masyarakat perkotaan yang selama ini masih terabaikan.
Para kandidat yang sinis dan tetap dingin dengan tidak mau memprioritaskan fasilitas ruang publik di Perkotaan sebagai isu kampanyenya dipastikan tidak memiliki keberpihakan nyata terhadap kebutuhan nyata masyarakatnya. Sebaliknya, kandidat yang peduli dan serius mengusung pentingnya ruang publik di Perkotaan sebagai isu seksi dalam setiap kampanyenya adalah yang mengerti kebutuhan masyarakatnya sehingga dirinya memiliki 'hutang' yang wajib direalisasikan sesudah dirinya terpilih menjadi pemimpin.
Ruang publik sebagai isu seksi perkotaan tidak boleh berhenti menjadi tema di panggung kampanye belaka, namun harus menjadi komitmen mengikat yang wajib direalisasikan dalam program nyata pembangunan. Disinilah dibutuhkan advokasi serta kebijakan politik anggaran yang 'memadai' demi merealisasikan tersedianya ruang-ruang publik di Perkotaan yang sangat dibutuhkan masyarakat.