Mohon tunggu...
Alyathur Rifqah
Alyathur Rifqah Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer

-

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ancaman Konflik di Laut China Selatan Terhadap Kedaulatan Indonesia

14 Mei 2024   16:00 Diperbarui: 17 Mei 2024   14:54 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Kedaulatan dalam hubungan antar-negara menandakan adanya kemerdekaan dan bebas menjalankan hak kedaulatannya untuk melaksanakan fungsi-fungsi negara tanpa campur tangan negara lain”

- Max Huber -

Demikianlah tanggung jawab negara pada hakikatnya akan menyentuh persoalan hakiki dari negara tersebut, yaitu kedaulatan yang apabila kedaulatan suatu negara dilaksanakan tidak terbatas dalam menjalankan fungsi-fungsi negaranya. Sesuatu pembatasan adalah semestinya dibuat agar ketertiban internasional (hubungan antarnegara) tidak terganggu. Untuk maksud demikian, hukum internasional telah meletakkan dasar-dasar pokok dari kewajiban negara agar meraka dapat hidup secara damai dalam suatu sistem yang teratur (Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2003).

Isu mengenai Laut China Selatan sangat penting karena terkait erat dengan kepentingan serta kedaulatan yang dimiliki oleh Indonesia. Hal tersebut wajar karena meskipun Indonesia tidak termasuk claimant states, namun terdapat wilayah Indonesia yang terkait dalam tumpang tindih klaim di Laut China Selatan, yaitu Laut Natuna Utara. Hal inilah yang perlu diwaspadai bersama sehingga diperlukan konsep strategi yang baik untuk meminimalisir hilangnya luas negara seperti yang pernah terjadi pada Lipadan dan Sigitan  (Syarifurohmat Pratama Santoso, 2021).

Salah satu wilayah strategis di dunia yaitu Laut China Selatan. Wilayah tersebut dikelilingi oleh beberapa negara di antaranya yaitu Brunei Darussalam, Republik Rakyat Tiongkok (China), Filipina, Indonesia, Malaysia, Taiwan, hingga Vietnam. Dengan wilayah yang strategis jalur perdagangan laut serta potensi alam yang tinggi, Laut China Selatan menjadi primadona tersendiri bagi negara-negara kawasan. Bahkan Amerika hingga sekutunya yaitu Australia, tak ragu untuk masuk ikut ke dalam konflik wilayah yang saat ini sedang dipersengketakan.

Bila merujuk kepada sejarah determinasi munculnya konflik yang meningkat dan meluas di wilayah Laut China Selatan dimulai ketika China mendaftarkan peta barunya di United Nations pada tahun 2009. Peta tersebut berlandaskan atas peta pada tahun 1947, ketika China mulai membuat peta wilayah perairannya sendiri. Pembuatan peta ini didasarkan akan sejarah wilayah penangkapan ikan tradisional atau traditional fishing zone yang dimiliki oleh masyarakat China.

Garis putus-putus pertama kali ditampilkan pada tahun 1947 di peta berjudul “Map of South China Sea Island” yang diterbitkan oleh pemerintah China. Dengan 11 tanda hubung, garis nine dash line meliputi sebagian besar Laut China Selatan. Partai komunis mengadopsi peta pada tahun 1949, tetapi menghapus dua tanda garis untuk memberikan Teluk Tonkin kepada Vietnam komunis sebagai tanda hormat (paywall). Di dalam garis-garis itu terdapat kepulauan-kepulauan kunci seperti Kepulauan Spartly, pulau-pulau di Paracel serta lain-lain yang termasuk di dalamnya adalah Scarborough Shoal (terumbu karang dekat Filipina). Merujuk kepada peta nine dash line yang dikeluarkan oleh China dan telah didaftar kepada United Nations pada tahun 2009, setidaknya negara tersebut mencoba melakukan klaim kekuasaan sekitar 90 % di wilayah perairan Laut China Selatan.

Meskipun peta nine dash line telah ada sejak tahun 1947, namun peta tersebut belum memiliki pengakuan pada lingkup internasional. Pada dasarnya, sejak tahun 1947 hingga 2009 tidak ada sengketa dengan konflik tinggi yang terjadi di wilayah Laut China Selatan. Namun tensi konflik kawasan mulai meningkat ketika China melakukan upaya pendaftaran wilayah tersebut di badan United Nations. Hal ini memunculkan konflik karena wilayah tersebut memiliki tumpukan klaim wilayah dengan beberapa negara lain.

Merujuk kepada Hukum Laut Internasional, United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982), peta wilayah milik China tidak dapat dianggap sah karena telah menyalahi beberapa aturan yang terkait didalamnya. Permasalahan yang timbul pertama yaitu perihal batasan klaim territorial wilayah. Penjelasan perihal makna laut territorial sendiri ada pada UNCLOS 1982 Pasal 2 tentang legal status of the territorial sea, of the air space over the territorial sea and of its bed and subsoil dengan 3 ayat yang menjelaskan perihal Laut Territorial sejauh 12 nautical miles dari garis pangkal yang telah sesuai dengan Pasal 3 tentang breath of the territorial sea.

Selanjutnya pada permasalahan Laut China Selatan juga terdapat ketidakselarasan antar negara kawasan dalam menentukan zona tambahan miliknya. Pembahasan zona tambahan ini dijelaskan pada UNCLOS 1982 Pasal 33 tentang contiguous zone ayat 1 dan 2. Pada pasal ini secara umum menjelaskan bila zona tambahan merupakan suatu zona perairan yang berbatasan dengan laut territorial yang lebar maksimalnya adalah 24 nautical miles, diukur dari garis pangkal darimana lebar laut territorial diukur.

Permasalahan selanjutnya yang terdapat pada Laut China Selatan yaitu ketidakselarasan antar negara dalam pengukuran Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Penjelasan pengertian ZEE terdapat pada UNCLOS 1982 bagian V perihal Zona Ekonomi Ekslusif Pasal 55 tentang specific legal regime of the exclusive economic zone. Pada bagian hukum UNCLOS 1982 mengatur bahwa ZEE memiliki jarak maksimal 200 mil dari garis pangkal darimana lebar laut territorial diukur. Aturan ini dapat dilihat pada UNCLOS 1982 Pasal 57 tentang breadth of the exclusive economic zone.

Permasalahan terakhir yang timbul pada konflik Laut China Selatan yaitu perihal ketidaksepahaman dalam menentukan Landas Kontinen. Pada poin ini, Landas Kontinen suatu negara sebenarnya memiliki jarak sejauh 200 mil dari garis pangkal darimana lebar laut territorial diukur. Hal ini telah dijelaskan pada UNCLOS 1982 Pasal 76 tentang definition of the continental shelf.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun