Mohon tunggu...
Lyfe

Jalan ke Rumah

8 November 2015   20:20 Diperbarui: 8 November 2015   20:20 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

 

     Mungkin aku terlalu bersemangat. Sudah tiga kali kakiku hampir menyenggol deretan lilin di sepanjang jalan itu. Hawa panas dari lilin yang kubawa ini terus menjalar keseluruh jari-jariku. mungkin saja lelehan lilin ini bisa jatuh ditanganku jika tidak dihalangi oleh lampu kaca yang menutupinya.

     Tidak perlu banyak dekorasi untuk mempercantik malam ini, gemerlap lilin dan lampion telah memperindah seluruh jalan ke teater atau bisa dibilang bioskop mini itu. Sayangnya aku harus melewati fenomena ini untuk sementara, jarum jam yang terus berputar memaksaku untuk bergerak lebih cepat.  

     Entah sudah berapa blok yang kulewati hanya untuk membawakan lilin ini. Jalur lilin itu mulai melebar menandakan tempat terlaksananya Festival Film Jogjakarta. Sepuluh menit sebelum festival film dimulai akhirnya kakiku menapakkan dirinya di tempat tujuan. Ika yang melihatku  baru sampai ke teater itu segera mencegatku “Sedang apa kau disini? Ayo cepat filmnya sebentar lagi akan dimulai!”. “Iya aku tahu.” Kataku seraya menata lilin yang sepanjang jalan tadi telah kubawa dengan penuh perjuangan.

     Sesuai dengan dugaanku, perempuan berbaju hitam itu sudah menyiapkan kursi untuk kami berdua. Ika adalah salah satu sahabat karibku. Kami berasal dari SMP yang sama, namun hal yang membuat kami dekat adalah minat dan kecintaan kami kepada film. Hal itu juga yang membuat kami bisa membuat kami berada disini, bersaing untuk membuat film yang lebih baik dari yang lain.

      Lima detik lagi film itu dimulai. Para penonton mulai berdesakan masuk untuk melihat atau hanya untuk sekedar membeli popcorn yang ditawarkan penjusl. Setelah penonton sudah lebih tertib dan diam ditempat duduknya lampu bioskop mini itu dimatikan. Filmnya hampir dimulai namun aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari lampion dan lilir diluar ruangan. Hal itu mengingatkan  aku pada masa kecilku, ketika aku begitu takut pada kegelapan sehingga harus ada lampu kecil yang diletakkan di sebelah tempat tidurku. Kakekku juga wajib menceritakan kisah-kisah heroiknnya sampai aku bosan dan tertidur.

       Seperti awal film-film lama yang klise. Film pertama pada malam itu dimulai dengan ditampilkannya hitung mundur dari tiga ke satu dengan latar yang masih hitam putih. Aku dan sahabatku Ika yang berada di kursi depan bisa mendengar sorakan penonton yang antusias. Dengan serentak mereka berkata.  

“3… 2… 1... Mulai!”

 

 *******************************************************************************************************

Januari 1949

    Ruang makan saat itu sangat gaduh oleh senandung tawa Katherine yang juga diiringi dengan suara derapan kaki si mbok. Hal pertama yang langsung terbesit dipikiranku adalah ‘pasti mereka sedang bermain petak umpet’. Permainan itu sudah bagaikan ritual yang wajib dilakukan si mbok dan adik perempuanku satu-satunya setiap pulang sekolah. Perpindahan meja dan kursi di ruang makan yang mungkin bagi beberapa orang terkesan ajaib, sudah bukan hal yang asing lagi bagi kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun